Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Ketiga, pertimbangan faktor kondisi keuangan Pertamina. Keempat, kata Laode, kondisi pandemi virus corona (Covid-19) ini menambah kompleksitas lantaran ikut menurunkan konsumsi masyarakat, yang membuat penjualan BBM Pertamina anjlok di masa pandemi ini.
Alhasil, secara korporasi, jika harga dipaksakan turun maka Pertamina akan menderita kerugian. Bahkan berpotensi terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Secara hitungan keekonomian, alasan Pertamina untuk masih mempertahankan harga BBM masih masuk akal. "Konsumsi turun, penjualan BBM turun drastis, pemasukan juga. Sementara mereka terancam rugi. Kami apresiasi untuk tidak melakukan PHK," kata Laode.
Kendati begitu, ia mengatakan bahwa Pertamina maupun pemerintah sebagai regulator dan pengawasan, harus bisa memberikan penjelasan kepada publik mengapa masih memilih untuk tetap mempertahankan harga BBM di level saat ini.
Baca Juga: Indef: Penurunan harga BBM dan tarif listrik bisa mengakselerasi pemulihan ekonomi
Lebih jauh, terkait dengan keberatan atau kritik keras dari sebagian kalangan terhadap harga BBM yang tak kunjung turun ini, Laode pun memberikan tanggapannya. Menurut dia, memang menjadi hal yang wajar ada perbedaan pandangan bahkan gugatan terhadap suatu kebijakan.
Namun, Laode mengajak agar pihak-pihak yang keberatan bisa duduk bersama dengan pemerintah dan Pertamina, supaya bisa berdialektika memberikan penjelasan atau memaparkan konsepnya secara langsung. Menurut dia, hal ini penting sebagai pendidikan publik dan juga bentuk transparansi dari pemerintah maupun Pertamina.
"Kami apresiasi, tapi saya ajak teman-teman yang menggugat untuk berdiskusi langsung, tidak hanya frontal jarak jauh. Supaya tidak hanya rame di publik, padahal substansinya bisa selesai dengan dialog. Ini kan lumrah dalam demokrasi," tutup Laode.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News