Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menurunkan harga gas untuk pembangkit listrik menjadi US$ 6 per mmbtu, yang rencananya mulai diterapkan pada 1 April 2020.
Penurunan harga gas tersebut menekan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit listrik, sehingga menghemat biaya pemakaian gas PLN. Di samping itu, harga gas yang diturunkan menjadi US$ 6 per mmbtu juga bakal menghemat biaya subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah.
Tak sampai di situ, penurunan harga gas untuk pembangkit juga berpotensi menurunkan tarif listrik per kilowatt hour (kWh). Sehingga Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo Abumanan pun menyambut baik penurunan harga gas tersebut.
Baca Juga: PLN ajak pelanggan bayar listrik lewat layanan online
Kendati begitu, Djoko mengatakan bahwa penurunan harga itu tidak bisa secara otomatis terjadi. Sebab, PLN masih harus terlebih dulu melakukan amandemen kontrak dengan penyedia gas.
Sebab, selama ini harga yang berlaku masih berdasarkan kontrak dengan skema business to business. "Alhamdulillah (harga gas turun). Langkah berikutnya amandemen kontrak, tapi kita lihat dulu hasil amandemen kontrak dengan penyedia gas hulu, hilir, midstream dan penyedia LNG, karena B to B," kata Djoko saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (19/3).
Djoko mengatakan, pihaknya telah melakukan simulasi untuk menghitung potensi penghematan dan penurunan tarif jika harga gas pembangkit dipatok lebih murah.
Ia menjelaskan, mengacu pada harga rata-rata gas pembangkit pada tahun 2019, harga tertimbang gas berada di angka US$ 8,39 per mmbtu.
Dengan asumsi harga tersebut, biaya pemakaian gas PLN mencapai Rp 60,98 triliun, sementara kebutuhan subsidi sebesar Rp 54,79 triliun dan kompensasi Rp 34,10 triliun.
Namun, jika harga gas dipatok di angka US$ 6 per mmbtu, maka biaya pemakaian gas turun menjadi Rp 47,95 triliun. Kebutuhan subsidi pun bisa di tekan ke angka Rp 51,50 triliun, sementara kompensasi bisa diturunkan menjadi Rp 23,79 triliun.
Baca Juga: Harga gas industri turun, ini dampaknya ke industri migas hulu sampai hilir
Artinya, dengan adanya penurunan harga dari US$ 8,39 per mmbtu menjadi US$ 6 per mmbtu, maka biaya pemakaian gas bisa dihemat sebanyak Rp 13,03 triliun, menekan subsidi sebesar Rp 3,29 triliun, dan bisa menghemat kompensasi sebanyak Rp 10,31 triliun.
Harga gas US$ 6 per mmbtu itu juga berpotensi untuk menurunkan tarif listrik. Dalam perhitungan PLN, tarif listrik untuk tegangan rendah bisa turun dari Rp 1.482,81 per kwh menjadi Rp 1.414,30 per kwh. Sementara untuk tegangan menengah, turun dari Rp 1.219,45 per kwh menjadi Rp 1.156,24 per kwh.
Adapun, untuk tegangan tinggi turun dari Rp 1.131,01 per kwh menjadi Rp 1.069,64 per kwh. Secara rerata dari ketiga tegangan tersebut, tarif listrik bisa turun dari Rp 1.368,51 per kwh menjadi Rp 1.302,31 per kwh.
Djoko menyebut, penurunan harga gas akan berdampak signifikan lantaran anggaran belanja gas menempati porsi terbesar dalam struktur biaya energi PLN. Pada tahun ini, PLN menganggarkan belanja gas sebesar Rp 62,86 triliun atau 43,13% dari total belanja energi.
Baca Juga: Beroperasi sejak tahun 1982, PLTP Kamojang hasilkan produksi listrik hingga 2,4 GWh
Padahal, listrik yang dihasilkan dari gas hanya sebesar 58.033 gigawatt hour (GWh) atau 19,95% dari total rencana produksi listrik PLN di tahun ini. "Dalam struktur biaya energi, gas menjadi porsi terbesar belanjanya," kata Djoko.
Kendati begitu, Djoko mengatakan bahwa penurunan tarif tersebut tidak secara otomatis terjadi. Sebab, masih ada pertimbangan lain seperti implementasi penurunan harga gas di lapangan sesuai dengan amandemen kontrak.
"Apakah harga gas yang dibeli PLN akan langsung dengan harga US$ 6 per mmbtu? harus negosiasi (kontrak) dengan mekanisme yang baru," kata Djoko.
Selain itu, penyesuaian tarif juga menjadi kewenangan pemerintah dengan mempertimbangkan pergerakan dari komponen penentu harga listrik, harga nilai kurs rupiah, inflasi, harga batubara dan minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).
"Tentu melihat dari perhitungan BPP. Termasuk kurs USD yang saat sudah tembus ke Rp 16.000," terangnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, penurunan harga gas memang akan memangkas BPP. Namun, penurunan tarif listrik harus mempertimbangkan komponen lainnya.
Baca Juga: Menperin usul industri yang menikmati penurunan harga gas US$ 6 dapat bertambah
Fabby menilai, perlu dihitung secara agregat perbandingan besaran penurunan pada harga energi primer dengan besaran inflasi dan nilai kurs.
Menurutnya, penurunan harga energi primer ini sebaiknya lebih digunakan sebagai momentum untuk mengoreksi BPP pembangkit agar bisa memberikan margin yang wajar bagi PLN.
Fabby bilang, dalam beberapa tahun terakhir, margin PLN tertekan di bawah 8%, apalagi dengan kebijakan pemerintah yang menahan penyesuaian tarif sejak tahun 2017.
"Ini kesempatan untuk mengoreksi biaya produksi listrik dan memberikan margin yang wajar bagi PLN. Minimal PLN perlu dapat margin 8% di atas biaya pokok produksinya," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Kamis (19/3).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News