Reporter: Filemon Agung | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga gas industri di dalam negeri yang tinggi menekan sejumlah sektor industri. Akibatnya, produktivitas pelaku usaha kian menyusut. Sementara secara historis volume impor terus mendaki.
Berikut ini sektor-sektor yang mencatatkan kenaikan impor dalam kurun waktu 2014-2019 karena efek harga gas industri menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM):
Keramik
Harga gas di plant gate untuk industri keramik naik 21,2% menjadi US$ 9,16 per mmbtu. Kenaikan harga tersebut berdampak pada penurunan produksi keramik sebesar 21,1% menjadi 347 juta meter persegi (m²) dari 2014 hingga 2019. Sementara impor industri keramik meningkat hingga 63,3% menjadi 89,8 juta m² dalam rentang waktu yang sama.
Gelas
Produksi industri gelas turun 38,2% menjadi 0,77 juta ton per hari karena harga gas naik 21,2% menjadi US$ 9,16 per mmbtu. Impor gelas dari Malaysia lantas meningkat 12,7% menjadi US$ 101,8 juta pada tahun lalu.
Empat pabrik gelas bahkan tercatat tutup produksi dalam rentang tahun 2014-2019. Keempatnya meliputi KIG Jakarta, Iglass Surabaya yang sudah beroperasi 30 tahun, FNG Jakarta dan Samudera Kudus.
Sarung tangan
Harga gas untuk industri sarung tangan di plant gate selama 2014-2019 naik sebesar 31,6% menjadi US$ 9,95-US$ 10,89 per mmbtu. Imbasnya, tahun lalu kapasitas produksi dalam negeri turun 29,4% menjadi 23,6 juta potong per hari. Sementara di sisi lain, impor sarung tangan mencapai US$ 30,65 juta atau naik 48,9% ketimbang catatan tahun 2014 yang sebesar US$ 20,59 juta.
Kementerian ESDM mencatat, pabrik sarung tangan seperti PT WRP Buana Multicorpora, PT Indiglove, PT Mandiri Inti Buana, PT Smart Gloves, PT Abergummi Medical, PT Irama Dinamika Latek, PT Citra Latek Lestari, PT Gotong Royong dan PT Hamko Pratika tutup operasi. Beberapa pelaku industri kemudian berinvestasi di Vietnam.
Baja
Kenaikan harga gas juga terjadi pada industri baja hingga sebesar 21,2%. Harga gas pada 2014 tercatat US$ 7,56 per mmbtu sedangkan tahun 2019 meningkat menjadi US$ 9,16 per mmbtu. Akibatnya, utilitas pabrik dalam negeri merosot hingga 40%. Lantas di sisi lain, impor tumbuh 13,5% menjadi 8,4 juta ton pada tahun lalu.
Kendati demikian, terjadi peningkatan produksi mencapai 67,7% dimana pada 2014 produksi tercatat sebesar 6,5 juta ton dan di 2019 meningkat menjadi 10,9 juta ton.
Selain itu ekspor turut meningkat hingga 230% menjadi 3,3 juta ton. Menurut Kementerian ESDM, produksi dan ekspor meningkat karena adanya investasi baru smelter pengolahan mineral. Selain itu, ada penghentian fasilitas produksi berbasis gas yang dinilai tidak kompetitif.
Oleh karena itu Kementerian ESDM yakin, penerapan harga gas US$ 6 per MMBTU dalam Kepmen ESDM No.89 K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri bagi tujuh sektor industri bisa turut mendorong utilisasi produksi dan meningkatkan nilai tambah komoditas. "Juga diharapkan mendorong penyerapan tenaga kerja dimana tujuh sektor penerima manfaat tercatat ada 370.000 tenaga kerj dan, yang terbesar dari keramik di atas 140.000 tenaga kerja," jelas Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam RDP Virtual bersama Komisi VII, Senin (4/5).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News