Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren impor minyak dan gas (migas) Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup tajam sepanjang tahun ini. Harga global dan pelemahan ekonomi menjadi pemicu turunnya impor migas RI sepanjang Januari-Juli 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor migas periode Januari–Juli 2025 mencapai US$18,38 miliar atau sekitar Rp 300,88 triliun (asumsi kurs Rp 16.370 per dolar AS). Realisasi tersebut turun 14,79% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$21,57 miliar atau sekitar Rp353,1 triliun.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menjelaskan, bahwa tren penurunan impor sudah terlihat sejak awal tahun. Nilai impor migas Januari–Juli 2025 sebesar US$18,38 miliar atau turun 14,79% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
PT Pertamina (Persero) menilai kebutuhan impor migas bersifat fluktuatif, bergantung pada kemampuan produksi dalam negeri dan faktor eksternal.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, impor dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri.
“Bagi Pertamina, produksi hulu dan kapasitas kilang tentu terus ditingkatkan dan dalam kondisi optimal guna meningkatkan produksi. Kemudian faktor kurs dan harga komoditas minyak mentah global yang fluktuatif juga berpangaruh,” jelas Fadjar kepada Kontan, Selasa (2/9/2025).
Baca Juga: DPR dan Kementerian ESDM Sepakati Asumsi Lifting Migas dan Subsidi Sektor ESDM 2026
Meski demikian, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Ishak menilai penurunan impor migas bukan berasal dari peningkatan produksi domestik. Ia menegaskan, tren produksi minyak nasional justru terus turun akibat lapangan migas yang menua dan minimnya investasi eksplorasi baru.
“Penurunan impor lebih dipengaruhi oleh konsumsi migas domestik yang melemah, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi global maupun domestik,” kata Ishak kepada Kontan, Selasa (2/9/2025).
Ishak juga mengingatkan bahwa kondisi ekonomi global yang melambat berimbas ke penurunan permintaan energi. Data penjualan kendaraan yang melambat menjadi salah satu indikator turunnya konsumsi migas di dalam negeri.
Selain faktor konsumsi, dinamika harga global turut menekan nilai impor. Harga minyak mentah dunia sejak awal tahun hingga September 2025 cenderung melemah di kisaran US$59 –US$ 77 per barel.
Kondisi ini dipicu oleh kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Sementara itu, rupiah sempat menyentuh level Rp 17.000 per dolar AS pada awal tahun, yang membuat biaya impor semakin mahal dan memperlebar defisit neraca migas.
Menurut Ishak, dari sisi fiskal, turunnya nilai impor migas memberi ruang lebih longgar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biaya pengadaan BBM menjadi lebih rendah, sehingga realisasi subsidi energi pada semester I-2025 tercatat turun 7,9%. Padahal, volume penyaluran BBM bersubsidi justru naik 3,4% dan LPG 3 kg meningkat 3,8%.
“Penurunan tersebut memang meringankan beban APBN. Tetapi di sisi lain, penerimaan migas pemerintah ikut berkurang,” tambah Ishak.
Adapun, Kementerian ESDM sebelumnya melaporkan rata-rata produksi minyak bumi nasional semester I-2025 mencapai 602.400 barel per hari (bph), atau 99,5% dari target APBN 2025 sebesar 605.000 bph. Bahkan pada Juni 2025, produksi sempat menembus 608.100 bph atau 100,5% dari target.
Baca Juga: PNBP Migas 2026 Dianggap Berat, INDEF Beberkan Tantangannya
Namun, data SKK Migas per 21 Juli 2025 menunjukkan capaian berbeda. Produksi minyak hingga Juni 2025 tercatat 579.300 bph, dengan lifting minyak bumi sebesar 578.000 bph. Realisasi lifting ini baru 95,5% dari target 2025 sebesar 605.000 bph.
Dengan tren tersebut, Ishak menilai penurunan impor migas lebih banyak mencerminkan pelemahan permintaan domestik ketimbang peningkatan kapasitas produksi.
Adapun, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat distribusi Pertalite atau Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) mencapai 11,6 juta kiloliter (kl) sepanjang Januari–Mei 2025. Pada periode yang sama, penyaluran solar bersubsidi atau Jenis BBM Tertentu (JBT) tercatat 7,20 juta kl, sementara minyak tanah 0,21 juta kl.
Kepala BPH Migas Erika Retnowati menegaskan realisasi tersebut masih jauh di bawah kuota yang telah ditetapkan dalam APBN 2025.
“Sampai Mei 2025, realisasi JBT dan JBKP masih di bawah kuota,” ujar Erika dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, Senin (1/7/2025).
Secara rinci, realisasi distribusi Pertalite hingga Mei baru mencapai 37,14% dari kuota, dengan proyeksi tahun penuh sebesar 93,32%. Penyaluran solar subsidi tercatat 38,13% dengan prognosa 94,32%, sementara minyak tanah mencapai 39,76%. Erika menambahkan, tren penyaluran JBT memang meningkat setiap tahun, tetapi tetap di bawah kuota.
Untuk menjaga agar kuota tidak terlampaui, BPH Migas memperkuat pengawasan dan pengendalian distribusi BBM subsidi. Lembaga ini juga membuka kanal aduan masyarakat untuk menindak tegas penyelewengan distribusi.
Selain itu, BPH Migas menyiapkan cadangan kuota JBT dan JBKP sebesar 452.653 kl, terdiri atas minyak tanah 8.948 kl, solar 343.705 kl, dan Pertalite 100.000 kl. Cadangan tersebut biasanya digunakan menjelang akhir tahun ketika kebutuhan meningkat.
Adapun proyeksi kuota BBM subsidi tahun 2026 telah ditetapkan, yakni solar 18,531 juta–18,742 juta kl, minyak tanah 0,517 juta–0,535 juta kl, serta Pertalite 31,229 juta–31,230 juta kl.
Baca Juga: Ada Kelangkaan BBM di SPBU Swasta, Kementerian ESDM Sudah Tugaskan ke Dirjen Migas
Selanjutnya: TikTok Aktifkan Lagi Fitur Live di Indonesia Usai Sempat Ditangguhkan
Menarik Dibaca: Rekomendasi 6 Tontonan Dokumenter Netflix Penuh Fakta Mengejutkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News