kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.894.000   -2.000   -0,11%
  • USD/IDR 16.208   -7,00   -0,04%
  • IDX 7.898   -32,88   -0,41%
  • KOMPAS100 1.110   -7,94   -0,71%
  • LQ45 821   -5,85   -0,71%
  • ISSI 266   -0,63   -0,24%
  • IDX30 424   -3,04   -0,71%
  • IDXHIDIV20 487   -3,38   -0,69%
  • IDX80 123   -1,10   -0,89%
  • IDXV30 126   -1,56   -1,22%
  • IDXQ30 137   -1,32   -0,96%

PNBP Migas 2026 Dianggap Berat, INDEF Beberkan Tantangannya


Senin, 18 Agustus 2025 / 21:50 WIB
PNBP Migas 2026 Dianggap Berat, INDEF Beberkan Tantangannya
ILUSTRASI. Fasilitas Produksi, Penyimpanan, dan Bongkar Muat Terapung (FPSO) Marlin Natuna milik PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC). Penerimaan negara dari sektor migas pada 2026 diprediksi akan menghadapi tekanan, seiring dengan turunnya asumsi Indonesia Crude Price (ICP). Meski target lifting dinaikkan tetapi ini tetap tidak mampu menutup kerugian yang terjadi.


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penerimaan negara dari sektor migas pada 2026 diprediksi akan menghadapi tekanan, seiring dengan turunnya asumsi Indonesia Crude Price (ICP). Meski target lifting dinaikkan tetapi ini tetap tidak mampu menutup kerugian yang terjadi.

M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa formulasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas sangat bergantung dengan volume, harga, dan kontribusi pemerintah.

Ia menjelaskan bahwa ketika ICP turun, maka pendapatan negara dari tiap barel juga ikut menipis dan kenaikan lifting sering tidak cukup untuk menutupi kerugiannya.

“Ketika ICP diasumsikan lebih rendah, maka diperkirakan dampaknya pada rente per barel menyusut sehingga setiap tambahan barel menghasilkan setoran yang lebih tipis,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (18/8/2025).

Baca Juga: Target PNBP Migas di RAPBN 2026 Dinilai Realistis Meski ICP Turun

Rizal juga menjelasakan bahwa kenaikan produksi harus signifikan demi mencegah penurunan PNBP migas, meski kondisi tersebut jarang terjadi tanpa adanya lonjakan volume yang besar.

Di sisi lain, perbedaan dalam komposisi gas dan minyak juga mempengaruhi, karena harga gas domestik sering terikat pada kontrak sehingga tidak selalu mengikuti pergerakan ICP.

“Intinya, tanpa lonjakan volume yang kredibel dan cepat, basis PNBP cenderung flattening,” jelas Rizal.

Menurutnya, penurunan ICP memang berpotensi menekan penerimaan negara, tapi tidak langsung membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terganggu. Karena, harga minyak yang lebih rendah bisa menurunkan beban subsidi atau kompensasi energi, meski faktor pelemahan rupiah bisa menghilangkan manfaat tersebut.

“ICP yang lebih rendah menekan PNBP, namun pada rezim harga eceran yang relatif dikendalikan, beban subsidi/kompensasi biasanya menurun kecuali pelemahan rupiah menghapus manfaat harga atau terjadi kenaikan kuota konsumsi,”bebernya.

Rizal menekankan bahwa risiko yang paling besar justru muncul jika lifting minyak tidak mencapai target saat rupiah melemah. Di situasi tersebut, penerimaan negara akan menurun, sementara beban impor energi akan meningkat karena depresiasi nilai tukar.

“Risiko fiskal yang lebih mengkhawatirkan justru muncul bila realisasi lifting meleset dari target (shortfall volume) bersamaan dengan kurs terdepresiasi,” kata Rizal.

Ia menjelaskan juga bahwa proyeksi harga minyak global untuk 2026 masih cenderung volatil. Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dengan disiplin suplai serta faktor geopolitk bisa menjaga harga agar tidak terjatuh, tapi di sisi lain pelemahan siklus industri global dan percepatan elektrifikasi transportasi bisa membatasi kenaikan konsumsi.

“Dengan konstelasi ini, skenario dasar adalah rentang harga menengah dengan lonjakan lebih bersifat episodik (event-driven), bukan tren naik berkelanjutan,” jelas Rizal.

Baca Juga: Sri Mulyani Dorong Sinergi dengan Kementerian ESDM, Genjot PNBP dari Sektor Migas

Menurut Rizal, asumsi harga minyak di RAPBN 2026 seharusnya tidak dipatok terlalu agresif. Pemerintah harus menyiapkan mekanisme penyangga, termasuk opsi hedging dan contingency plan, agar deviasi harga pasar tidak langsung berdampak pada penerimaan negara.

“Implikasinya bagi fiskal, dimana jangan mengunci asumsi terlalu agresif gunakan band harga konservatif plus mekanisme penyangga (hedging/contingency) agar deviasi pasar tidak langsung memukul PNBP,” ujar Rizal.

Ia mengatakan bahwa kenaikan lifting pada tahun 2026 bukan hal yang mudah. Ini dipicu oleh penurunan alamiah pada sumur tua, lamanya waktu proyek hulu, serta berbagai hambatan perizinan dan kontrak yang sering menunda tambahan produksi.

“Tanpa project delivery yang disiplin infill drilling, EOR, debottlenecking fasilitas yakni tambahan volume kerap mundur ke kanan,” ucap Rizal.

Ia menekankan bahwa skema harga gas domestik yang masih berplafon juga menekan tingkan pengembalian investasi. Kondisi ini membuat investor kurang agresif untuk menambah proyek baru, sehingga target lifting migas 2026 jadi lebih sulit dicapai.

“Dengan begitu, target 2026 cenderung menantang. Yakni pencapaian menuntut adanya fast-track perizinan, fleksibilitas fiskal-kontraktual yang lebih tajam, dan kepastian offtake untuk mengurangi execution risk,” pungkasnya.

Selanjutnya: Sosok CEO Intel yang Bikin Trump Terpesona dan Kekayaannya Capai Rp 17,8 Triliun

Menarik Dibaca: Simak Manfaat Spirulina untuk Tumbuh Kembang Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mengelola Tim Penjualan Multigenerasi (Boomers to Gen Z) Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×