Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah masih membubung tinggi. Hal ini tercermin misalnya pada harga minyak West Texas Intermediate (WTI) yang masih berada di atas US$ 100 per barel pada Selasa pagi (19/4).
Melansir Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2022 di pasar Nymex berada di angka US$ 106,80 per barel pada pukul 07.45 Selasa pagi (19/4). Angka tersebut menguat 40.37% dibanding harga WTI pada penutupan 3 Januari 2022 yang sebesar US$ 76,08 per barel.
Tren kenaikan harganya minyak ini memiliki dampak yang beragam pada sejumlah sektor industri. Pada sektor pelayaran misalnya, kenaikan harga minyak diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar.
Ketua Indonesian National Shipowners' Association (INSA), Carmelita Hartoto mengatakan, harga bahan bakar minyak (BBM) marine fuel oil (MFO) dan Solar B30 yang biasa digunakan oleh pelayaran nasional bergantung pada rilis yang ditetapkan Pertamina setiap 15 hari.
Baca Juga: Kenaikan Harga Minyak Mentah Turut Kerek Harga Bahan Bakar Pelayaran
Menurut catatan INSA, pada awal Februari 2022,harga MFO masih tercatat di angka Rp 13,200 per liter, sedangkan Marine Gas Oil (MGO) berada di angka Rp 14,550 per liter. Di awal April 2022, harga MFO sudah naik ke angka Rp 15,400 per liter, sementara harga MGO naik ke angka Rp 17,800 per liter.
“Kenaikan rata-rata Rp 2000 - Rp 3000 dalam 5 periode rilis,” ungkap Carmelita kepada Kontan.co.id (19/4).
Harga minyak mentah dunia terus menunjukkan tren kenaikan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini tercermin misalnya pada Indonesia Crude Price (ICP) yang terus mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir.
Melansir publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Maret 2022, menembus angka US$ 100 per barel, yakni tepatnya sebesar US$113,50 per barel.
Angka tersebut naik dibanding rata-rata ICP pada Januari 2022 yang sebesar US$ 85,89 per barel maupun rata-rata ICP bulan Februari 2022 sebesar US$ 95,72 per barel. Tidak hanya itu, angka ICP-ICP ini juga sudah melampaui asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang sebesar US$ 63 per barel.
Menurut penjelasan Carmelita, kenaikan harga bahan bakar turut mempengaruhi biaya operasional jasa angkutan laut. Tidak tanggung-tanggung, porsi kontribusi biaya bahan bakar berkisar 40% - 60 % dari seluruh biaya operasional, tergantung jarak tempuh.
Baca Juga: Perusahaan Jasa Migas Global Halliburton Catatkan Kenaikan Laba 85% Selama Kuartal I
Buntutnya, ongkos angkut alias harga freight bisa naik, sebab pelaku industri biasanya memuat klausul kenaikan tarif berupa Bunker Adjustment Clause atau BAC dalam kontrak angkutan. Dengan klausul ini, harga freight akan berubah setiap terjadi kenaikan atau penurunan harga bunker sekian persen, sesuai kesepakatan. “Bila tidak ada kontrak, ya mekanisme pasar berlaku,” imbuh Carmelita.
INSA berharap, Pemerintah maupun Pertamina bisa menjaga harga minyak produk, tetap terkendali dan tidak naik secara signifikan. “(Hal ini) Demi menjaga stabilitas ekonomi nasional, dan kelangsungan distribusi komoditi nasional,” pungkas Carmelita.
Sama seperti industri pelayaran, kegiatan operasional sektor industri logistik juga dipengaruhi oleh harga minyak. Hanya saja, tren kenaikan harga minyak mentah yang berlaku belum memiliki dampak bagi pelaku industri logistik, sebab BBM yang digunakan dalam kegiatan rantai pasok, yakni solar subsidi dan juga Pertalite, belum mengalami kenaikan.
“Selama pemerintah apapun yang terjadi melindungi atau tetap mensubsidi bahan bakar solar, bio solar, plus Pertalite, dampak kepada biaya logistik tidak naik, asal stoknya ada ya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto kepada Kontan.co.id (19/4).
Oleh karenanya, Mahendra berharap pemerintah tidak menaikkan harga solar subsidi dan Pertalite dan menjaga keamanan distribusi dan pasokannya. Mahendra berujar, biaya BBM memiliki porsi yang cukup besar dalam biaya logistik, sehingga kenaikannya bisa menaikkan harga barang-barang yang ada.
“Dalam biaya logistik itu, 30%-50% itu biayanya biaya BBM. Bayangin aja kalau BBM naik itu dia mempengaruhi biaya logistik, kalau biaya logistik berarti mempengaruhi harga barang,” terang Mahendra.
Segendang sepenarian, di industri keramik pada sektor manufaktur, kenaikan harga minyak mentah dunia juga dianggap tidak memiliki pengaruh dalam biaya energi industri keramik.
“Tidak berpengaruh karena industri keramik menggunakan LNG atau Gas Alam Cair sebagai Bahan Bakar,” ujar Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto saat dihubungi Kontan.co.id (19/4).
Meski begitu, Edy menduga, krisis energi di Eropa, yakni krisis gas maupun kenaikan harga minyak menjadi biang kerok di balik naiknya harga-harga bahan baku dari Eropa. Asaki mencatat, pewarna/ Ink dan fritz telah sekitar 10%-15% , sementara kenaikan spareparts dan mesin produksi mencapai kisaran 20%-30%.
Baca Juga: Harga Avtur Naik, Bersiaplah Harga Tiket Pesawat Melonjak
Menimbang adanya krisis energi ini, Asaki berharap agar pemerintah tidak menaikkan harga BBM Subsidi dan tarif listrk pada tahun ini dengan memperimbangkan daya beli. Edy menjelaskan, biaya Listrik mencakup 10% dari total biaya produksi keramik. Oleh karenanya, kenaikan biaya listrik mau tidak mau harus dibebankan kepada pelanggan sehingga bisa mempengaruhi daya beli pasar.
Persoalan serupa juga ada pada biaya pengiriman yang dipengaruhi harga jual BBM subsidi.
“Biaya pengiriman keramik saat ini berkisar 10%-15% dari harga jual keramik, sehingga setiap kenaikan BBM Subsidi sudah pasti harus diteruskan kepada Pelanggan akhir. Untuk itu tentunya Asaki mengkhawatirkan kemampuan daya beli masyarakat akibat kenaikan inflasi dari penyesuaian kenaikan harga BBM subsidi,” imbuh Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News