Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 menghantam banyak sektor ekonomi hingga sosial. Kini sejumlah pihak mulai mengukur, apa saja efek corona kepada masyarakat, kapan krisis ini akan berakhir, dan bagaimana menyiapkan diri pasca Covid-19.
Sektor bisnis paling terpukul lantaran lebih dari sebulan ini aktivitas masyarakat dibatasi sehingga berimbas kepada pasar. "Sebelum krisis terjadi, tingkat kepercayaan diri konsumen itu 100%. Sekarang hanya tinggal 15%. Artinya ada pergeseran prioritas konsumen," ungkap Ketua Forum Pemred Kemal E Gani dalam webinar kebangsaan MarkPlus yang berlangsung lewat aplikasi Zoom, Sabtu (2/5).
Baca Juga: Industri wisata lumpuh akibat corona, berikut curahan hati Asita dan Putri
Acara bertajuk Covid-19 in Indonesia: Survive, Prepare and Actualize tersebut dalam rangka memperingati hari jadi ke-30 MarkPlus Inc.
Kemal menyatakan saat ini konsumen hanya membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pokok seperti makanan, listrik, air, sampai paket data. Kebutuhan sekunder terkesampingkan.
Namun Kemal melihat krisis justru akan melahirkan sesuatu yang besar karena adanya disrupsi. Termasuk perusahaan atau institusi yang lahir karena krisis. Pasalnya, masyarakat akan mulai beradaptasi dengan gaya hidup baru dan perusahaan penyedia layanan di saat krisis tersebut bisa bertahan lebih lama.
Founder & Chairman MarkPlus Inc Hermawan Kartajaya mengakui hal tersebut. Dalam jangka panjang, sebuah bisnis bisa menggunakan konsep surviving, preparing dan actualizing. Ia mencontohkan, MarkPlus yang berdiri pada 1 Mei 1990 baru memasuki fase surviving dan preparing.
Baca Juga: Hasil jajak pendapat MarkPlus: 54% masyarakat masih antusias traveling pasca Covid-19
"Sepuluh tahun awal surviving atau bertahan. Apalagi saat itu berbarengan krisis 1998. Namun semenjak krisis berakhir berkembang terus dan memasuki fase preparing, atau bersiap. Fase itu 20 tahun sampai 2020 ini. Kebetulan Covid-19 terjadi di 2020, sehingga harapannya 2021 ekonomi membaik dan menjadi fase aktualize atau aktualisasi dari apa yang direncanakan," ujar dia, dalam rilis yang diterima Kontan.co.id, Sabtu (2/5).
Hermawan yang juga pakar marketing tersebut meyakinkan bahwa Covid-19 bisa saja selesai menjelang akhir tahun. Akan tetapi ia menekankan bisnis yang sedang tertekan untuk bertahan atau surviving. Sementara yang sedang profit untuk servicing atau memaksimalkan layanan ke pelanggan. Ia yakin semua sektor akan membaik dan tancap gas pada 2021.
Perubahan total ini juga disinggung Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh. Siapa yang cepat beradaptasi dan recovery akan menjadi pemimpin. Hal ini terkait dengan perubahan teknologi yang jauh lebih cepat daripada aspek lain.
Baca Juga: MarkPlus Tourism: Akan ada perubahan prilaku wisatawan setelah pandemi corona
"Policy untuk teknologi banyak yang belum ada. Namun kita sekarang dipaksa cepat memanfaatkan teknologi ketika krisis. Sehingga teknologi yang menjadi guidance, bukan policy," ungkap mantan Menteri Pendidikan dan Menkominfo tersebut. Ia menilai, krisis saat ini bisa menjadi fenomena ekonomi bahkan politik.
Anggapan akan krisis Covid-19 ditanggapi juga oleh pengamat finansial Eko B Supriyanto. "Kalau dipetakan, 1998 itu krisis negara. Tahun 2008 krisis korporasi. Krisis 2020 ini krisis UKM. Lebih parah karena jika UKM terkena duluan, imbasnya ke mana-mana. Ada sekitar Rp 3.000 triliun kontribusi UKM ke perbankan," ungkap Eko yang juga Pemred Infobank tersebut.
Walau begitu, Hermawan, Kemal maupun Mohammad Nuh yakin bahwa krisis adalah saat yang tepat untuk memanfaatkan kesempatan. Mohammad Nuh menggambarkannya seperti menyalip di tikungan. Seperti halnya sektor ekspor impor.
Sedangkan Konsul Jenderal RI untuk Houston AS Nana Yuliana mencatat kenaikan ekspor impor antar dua negara (AS-Indonesia) pada Januari dan Februari, di mana ekspor dari AS naik 6,9% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Sementara ekspor dari Indonesia juga naik 6,15%.
Baca Juga: Pengusaha logistik harus perkuat teknologi pasca wabah virus corona (Covid-19)
"Bahkan dari nilainya, AS mengalami defisit dengan Indonesia sampai Rp 22,4 triliun. Ini kesempatan bagi kita karena China sedang ditutup dan AS gencar mencari supplier baru. Belum lagi perang tarif kedua negara," ungkap Nana yang hadir dalam webinar tersebut.
Ia mencatat furnitur, bahan bakar mineral, sampai elektronik dan tekstil adalah produk yang mendominasi ekspor Indonesia ke AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News