kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.250.000   11.000   0,49%
  • USD/IDR 16.640   37,00   0,22%
  • IDX 8.140   21,59   0,27%
  • KOMPAS100 1.116   -2,74   -0,25%
  • LQ45 782   -2,78   -0,35%
  • ISSI 287   0,98   0,34%
  • IDX30 411   -1,53   -0,37%
  • IDXHIDIV20 463   -3,28   -0,70%
  • IDX80 123   0,03   0,02%
  • IDXV30 133   -0,26   -0,19%
  • IDXQ30 129   -0,89   -0,69%

Dibanjiri Produk China, Industri Petrokimia Indonesia Tertekan


Selasa, 07 Oktober 2025 / 06:00 WIB
Dibanjiri Produk China, Industri Petrokimia Indonesia Tertekan
ILUSTRASI. Truk yang membawa peti kemas melintas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Inaplas memproyeksikan, pada 2025 impor petrokimia dari China bisa mencapai 150.000 ton, naik tajam dari realisasi 2024 yang sebesar 80.000 ton.


Reporter: Lidya Yuniartha, Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri petrokimia dalam negeri tengah menghadapi tekanan berat akibat risiko membanjirnya produk asal China. Kondisi ini merupakan imbas dari perang dagang, khususnya penerapan bea masuk tambahan oleh Amerika Serikat (AS).

Dengan adanya tarif baru tersebut, industri petrokimia global yang banyak bergantung pada China sebagai produsen terbesar ikut terancam. Produk asal Negeri Tirai Bambu pun berpotensi mengalihkan pasar ke Asia Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, hingga Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengungkapkan impor petrokimia dari China ke Indonesia sudah melonjak hampir dua kali lipat dalam dua tahun terakhir. 

Baca Juga: Banjir Produk Petrokimia China di Indonesia, Industri Dalam Negeri Kian Tertekan

Inaplas memproyeksikan, pada 2025 impor bisa mencapai 150.000 ton, naik tajam dari realisasi 2024 yang sebesar 80.000 ton.

Lonjakan tersebut diperkirakan akan semakin besar pada 2026 seiring dampak kebijakan tarif baru AS. Apalagi, kapasitas produksi petrokimia di China terus meningkat dengan beroperasinya sejumlah pabrik baru. 

“Mereka punya keunggulan teknologi dan sumber bahan baku yang lengkap, mulai dari batubara, gas, minyak hingga hasil refinery sendiri,” ujar Fajar, kemarin.

Keunggulan tersebut membuat China mampu memproduksi bahan baku plastik dan produk turunannya dengan biaya lebih efisien dibandingkan produsen dalam negeri. Tak hanya bahan baku, produk plastik jadi juga mulai membanjiri pasar domestik. 

Dalam dua tahun terakhir, impor produk plastik jadi mencapai 900.000–1 juta ton per tahun, dan berpotensi menembus 1,2 juta ton.

Baca Juga: Banjir Produk China Gara-Gara Perang Tarif

“Kalau pemerintah tidak memperketat impor dengan penerapan standar, safeguard, atau antidumping, industri hilir akan terpukul duluan. Setelah itu, industri hulu pasti ikut terdampak,” tegas Fajar.

Meski demikian, Kementerian Perindustrian menilai sektor manufaktur masih menopang kinerja ekspor nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2025 mencatat sektor manufaktur menyumbang 72,55% dari total ekspor Indonesia dengan nilai US$ 13,22 miliar.

Di dalamnya, industri kimia, farmasi, dan tekstil (IKFT) menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan. Pada Agustus 2025, sektor IKFT mencatat pertumbuhan 6,70% (yoy). 

Baca Juga: Perang Dagang Memanas, Produk China Dikhawatirkan Banjiri Indonesia

Sementara subsektor industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh lebih tinggi, yakni 9,39%, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal IKFT Kemenperin, Sri Bimo Pratomo.

Selanjutnya: Kinerja Sejumlah Perbankan Mulai Membaik, Cermati Saham Pilihan Analis

Menarik Dibaca: 5 Sosok Makhluk Mistis Legendaris Korea yang Sering Jadi Hantu di Drakor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×