Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan hilirisasi mineral masih belum berjalan optimal. Dari beragam komoditas mineral yang ada, hilirisasi baru berjalan optimal untuk sektor nikel.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, pemerintah memiliki visi untuk mendorong hilirisasi mineral menjadi suatu ekosistem yang utuh.
"Kita harus melihat posisi peta persaingan ekonomi kita bagaimana menempatkan Indonesia secara strategis. Hilirisasi dilakukan sebagai strategi pertumbuhan ke depan," kata Seto dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Tantangan dan Kebijakan Hilirisasi di Indonesia” di Menara Kompas, Jumat (15/9).
Seto bilang, komitmen hilirisasi sudah dimulai Pemerintah Indonesia lewat kehadiran UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Secara khusus untuk sektor nikel, upaya mendorong hilirisasi kian terlihat pasca kebijakan larangan ekspor bijih nikel diterapkan pada 2020 silam.
"Kita ingin melihat nilai tambah dari sumber daya alam yang kita miliki. Kita ingin negara bersaing di internasional dengan sisi kompetisi yang berkelanjutan," ujar Seto.
Baca Juga: Punya Peran Krusial, Pelaku Usaha Minta Pemerintah Lirik Hilirisasi Tembaga
Upaya mendorong hilirisasi sektor mineral lainnya pun terus didorong pemerintah. Dengan menciptakan ekosistem hilirisasi untuk komoditas mineral maka ada peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Seto, tembaga memiliki potensi ke depannya terutama sebagai komoditas yang tidak memiliki substitusi. Padahal, kebutuhannya terus meningkat seiring pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Selain itu, berbagai kebijakan terus dikeluarkan seperti larangan ekspor bijih mineral hingga investasi.
"Ini semua sudah berjalan, niat sudah ada, capex juga sudah keluar. Saya kira dua sampai tiga tahun lagi eksositemnya menjadi sangat maju," imbuh Seto.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau menambahkan, ekosistem hilirisasi untuk nikel telah terbentuk. Kondisi sedikit berbeda terjadi untuk komoditas mineral lain.
"Pemerintah sudah sangat maksimal. Bukan berarti pemerintah meninggalkan (komoditas) yang lain. Ke depannya kami mengharapkan pemerintah melihat juga tembaga, komoditas yang lain dan bauksit," kata Rachmat.
Rachmat menjelaskan, komoditas tembaga misalnya memiliki peranan krusial dalam masa transisi energi. Secara global, permintaan nikel dan tembaga bakal meningkat sekitar 3% hingga 4% ke depannya.
Permintaan ini berpotensi meningkat hingga 4% hingga 5% jika negara-negara global melakukan akselerasi dalam transisi energi.
Selain itu, ke depannya produksi tembaga Indonesia bakal terus meningkat. Sayangnya, tingkat serapan di dalam negeri masih minim. "Kita hanya pakai 25%-30% dari kapasitas produksi kita sehingga 70%-nya diekspor," jelas Rachmat.
Pemerintah juga diharapkan turut mendorong hilirisasi bauksit yang saat ini perkembangannya masih belum optimal.
Presiden Direktur PT Kalimantan Alumunium Industry Wito Krisnahadi menyoroti sejumlah pekerjaan rumah yang masih menanti dalam proses hilirisasi sektor mineral. "Ada beberapa tantangan yang kami hadapi, dari sisi kesiapan teknologi yang kompetitif dan tersedia di Indonesia," kata Wito dalam kesempatan yang sama.
Demi mengatasi tantangan tersebut, pihaknya pun menggandeng sejumlah mitra asing dan juga mitra dalam negeri untuk mendorong proyek hilirisasi yang saat ini tengah dilakukan.
Selain itu, Wito turut menyoroti soal kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mendukung proses bisnis hilirisasi mineral. Lebih jauh, kesiapan energi untuk proyek hilirisasi menurutnya menjadi sesuatu yang harus dipastikan.
Menurutnya, jaminan ketersediaan suplai energi untuk keberlangsungan proyek menjadi aspek penting. Untuk itu, pemerintah perlu mendukung dengan menyampaikan roadmap mendetail seputar kebutuhan dan rencana transisi energi.
"Kami juga membutuhkan energi yang tidak sedikit karena smelter ini sifatnya adalah harus ada kesiapan energi yang berkala dan tidak bisa putus," tegas Wito.
Sementara itu, Ekonom Indef Rizal Taufikurahman menyebut, dibandingkan sektor lainnya, sektor pertambangan memang bisa memberikan nilai tambah yang lebih cepat. Selain itu, integrasi dalam hilirisasi mineral juga harus dilakukan.
"Ini menjadi catatan supaya bagaimana industri hilirisasi itu bisa berdampak terhadap industri-industri lain," terang Rizal.
Rizal menambahkan, sampai saat ini sektor industri Indonesia belum menunjukkan laju pertumbuhan optimal. “Laju pertumbuhannya itu selalu dan sampai saat ini masih di bawah laju pertumbuhan ekonomi,” imbuh dia.
Baca Juga: PT Timah Industri Targetkan Peningkatan Komitmen Hilirisasi Mineral
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News