kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

HIPMI : Omnibus Law perlu perhatikan dua UU demi investasi


Senin, 06 Januari 2020 / 17:43 WIB
HIPMI : Omnibus Law perlu perhatikan dua UU demi investasi
ILUSTRASI. Mantan Ketua HIPMI Bahlil Lahadalia meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10).


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) menilai pemerintah perlu memperhatikan keharmonisan dua Undang-Undang dalam menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law atau RUU Sapu Jagat.

Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H.Maming mengatakan, dua UU tersebut yakni Undang-Undang (UU) Kehutanan No.41/1999 dan UU Tata Ruang No.26/2007. Menurutnya, tumpang-tindih dan ketidakharmonisannya kedua UU ini membuat investasi berjalan lamban.

Baca Juga: Demi Investor, Pemerintah Obral Insentif Tax Allowance

Tak hanya itu, dengan tak harmoninya kedua UU itu, Kepala Daerah, para pengusaha dan investor rawan bermasalah secara hukum.

“Kami minta agar kedua UU ini di harmonisasi. Sebab, investasi berjalan lamban karena ada masalah dua UU ini,” ujar Maming dalam keterangan resminya, Senin (6/1).

Baca Juga: Jokowi minta UU omnibus law rampung pekan depan

Parahnya lagi, kedua UU ini, ujar Maming, masing-masing punya peta. Sehingga bila izin yang dikeluarkan kepada pengusaha atau investor tidak sesuai dengan peta di salah satu UU, maka pengusaha kerap bermasalah secara hukum.

“Misalkan tidak sesuai dengan peta yang ada di UU Kehutanan, Kementerian terkait dan penegak hukum akan memperkarakan. Padahal peta itu sudah sesuai dengan UU Tata Ruang misalnya,” terang Maming. 

Maming melanjutkan, untuk mengeluarkan izin lokasi, amdal, dan izin lainnya, gubernur, bupati, dan menteri agraria dan tata ruang (ATR) berpatokan pada UU Tata Ruang. Sehingga ketika kepala daerah mengeluarkan izin lokasi di atas hutan produktif, bisa saja bermasalah dikemudikan hari. Sebab dianggap tidak sesuai peruntukannya dengan peta di UU Kehutanan.

“Kepala Daerah bisa bermasalah secara hukum. Ini yang membuat kepala daerah kerap khawatir mengeluarkan izin, sesuai kewenangannya,” kata Maming.

Sementara itu, ia menjelaskan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan penegak hukum kerap berpatokan pada UU Kehutanan. Tak hanya itu, berdasarkan kedua UU itu, Kementerian Tata Ruang mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU).

Baca Juga: Menperin targetkan pertumbuhan manufaktur 2020 capai 5,3%

Sedangkan Kementerian LH dan Kehutanan mengeluarkan mengeluarkan Hak Pengelolaan (HPL). Masalahnya adalah kedua aturan ini membawa peta masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya.

“Karena peta keduanya tidak singkron, banyak pengusaha dan investor enggan berinvestasi. Sebab HGU-nya nanti bisa dianggap melanggar peta yang sudah ada di UU Kehutanan. Bisa bermasalah secara hukum. Jadi pada takut. Sebab semua tidak jelas alas hak lahannya. Disini letak ketidakpastian hukumnya,” tukas Maming.

 Tak hanya pengusaha, kepala daerah pun enggan dan takut mengeluarkan perizinan. Faktor inilah yang membuat banyak kepala daerah menunda demikian lama menerbitkan izin lokasi maupun IMB untuk investor. 

Baca Juga: Sepanjang 2019, industri manufaktur menyumbang nilai ekspor terbesar

Untuk itu, Maming menerangkan, Hipmi berharap agar program Omnibus Law mampu menyelesaikan persoalan ini ke depan agar investasi berlari kencang. Bila masalah pertanahan di kedua UU ini tidak terselesaikan, Hipmi memastikan investasi tak akan lebih akseleratif.

“Sebab, sebelum berinvestasi, masalah lahan ini yang pertama kali diselesaikan oleh investor. Yang lain cuma ikut,” ucap Maming.  

 Apalagi menurut Maming, sebanyak 32,6% penghambat investasi datang dari masalah perizinan, pengadaan lahan 17,3%, dan regulasi atau kebijakan sebanyak 15,2%.

Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahaladia menyebut, ada 1.500 Surat Keputusan (SK) menteri menghambat kemudahan investasi. Tumpang tindih dan tidak singkronya regulasi yang ada membuat para pengusaha dan investor rawan diskriminasi.

Bahlil Lahaladia menjelaskan, hingga kini tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia berada di urutan 73 berdasarkan data Bank Dunia. Pemerintah pun menargetkan, agar peringkatnya dapat berada di level 50. 

Baca Juga: BKPM sebut ada investasi mandek Rp 300 triliun, ini tanggapan Pertamina

Untuk itu, BKPM akan meminta pemangkasan regulasi di Kementerian dan Lembaga. "Tingkat kemudahan investasi kita sekarang ini tingkat 73. BKPM jadi koordinator untuk perbaiki tingkat kemudahan. Targetnya minimal kita bisa di ranking 50. Kita akan memangkas regulasi dan prosedur yang banyak di K/L," ungkap Bahlil, Senin (6/1).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×