Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
Maming melanjutkan, untuk mengeluarkan izin lokasi, amdal, dan izin lainnya, gubernur, bupati, dan menteri agraria dan tata ruang (ATR) berpatokan pada UU Tata Ruang. Sehingga ketika kepala daerah mengeluarkan izin lokasi di atas hutan produktif, bisa saja bermasalah dikemudikan hari. Sebab dianggap tidak sesuai peruntukannya dengan peta di UU Kehutanan.
“Kepala Daerah bisa bermasalah secara hukum. Ini yang membuat kepala daerah kerap khawatir mengeluarkan izin, sesuai kewenangannya,” kata Maming.
Sementara itu, ia menjelaskan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan penegak hukum kerap berpatokan pada UU Kehutanan. Tak hanya itu, berdasarkan kedua UU itu, Kementerian Tata Ruang mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU).
Baca Juga: Menperin targetkan pertumbuhan manufaktur 2020 capai 5,3%
Sedangkan Kementerian LH dan Kehutanan mengeluarkan mengeluarkan Hak Pengelolaan (HPL). Masalahnya adalah kedua aturan ini membawa peta masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya.
“Karena peta keduanya tidak singkron, banyak pengusaha dan investor enggan berinvestasi. Sebab HGU-nya nanti bisa dianggap melanggar peta yang sudah ada di UU Kehutanan. Bisa bermasalah secara hukum. Jadi pada takut. Sebab semua tidak jelas alas hak lahannya. Disini letak ketidakpastian hukumnya,” tukas Maming.
Tak hanya pengusaha, kepala daerah pun enggan dan takut mengeluarkan perizinan. Faktor inilah yang membuat banyak kepala daerah menunda demikian lama menerbitkan izin lokasi maupun IMB untuk investor.
Baca Juga: Sepanjang 2019, industri manufaktur menyumbang nilai ekspor terbesar
Untuk itu, Maming menerangkan, Hipmi berharap agar program Omnibus Law mampu menyelesaikan persoalan ini ke depan agar investasi berlari kencang. Bila masalah pertanahan di kedua UU ini tidak terselesaikan, Hipmi memastikan investasi tak akan lebih akseleratif.
“Sebab, sebelum berinvestasi, masalah lahan ini yang pertama kali diselesaikan oleh investor. Yang lain cuma ikut,” ucap Maming.
Apalagi menurut Maming, sebanyak 32,6% penghambat investasi datang dari masalah perizinan, pengadaan lahan 17,3%, dan regulasi atau kebijakan sebanyak 15,2%.