Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
Edwin melanjutkan, produksi energi yang saat ini hampir mencapai 300 TWh akan naik tinggi hingga 1.800 Twh. Untuk memenuhi ini, masih akan ada pembangkit fosil yang masuk ke dalam sistem hingga 10 tahun mendatang.
Nantinya, pada tahun 2031 hingga 2060 masih akan diperlukan setidaknya 1.300 TWh, kebutuhan ini rencananya bakal disuplai dari pembangkit EBT. Total kapasitas pembangkit EBT yang dibutuhkan mencapai 230 GW dengan total investasi mencapai Rp 9.000 triliun.
Sementara itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Luh Nyoman Puspa Dewi memastikan ke depannya dukungan investasi untuk fosil akan kian sulit. Untuk itu penggunaan energi yang kini masih didominasi oleh energi fosil perlu disikapi secara bijak.
"Gak ada lagi dukungan investasi untuk fosil. Artinya dunia ini sudah tutup pintunya. Kita harus bijak gunakan fosil kita yang masih ada. Dari sisi teknologi melalui proses yang lebih bersih. Ini upaya pemerintah," ujar Dewi dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: BPK ungkap 14.501 permasalahan keuangan negara selama semester I-2021
Sekedar informasi, pemerintah menargetkan penurunan emisi mencapai 314 juta ton co2 pada 2030 mendatang dimana realisasinya baru mencapai 69 juta ton co2 pada tahun ini. Penurunan emisi sebesar 314 juta ton co2 ini pun diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp 3.500 triliun.
Komitmen mendorong EBT pun sebelumnya turut disampaikan oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo yang memastikan hal ini juga menjadi fokus ke depannya.
"Saat ini ada program NZE 2060, transisi energi. Maka perlu ada persiapan agar program ini berjalan dengan baik," kata Darmawan dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat PLN, Senin (8/12).
Darmawan pun memastikan, dengan hadirnya RUPTL 2021-2030 yang didominasi pembangkit EBT maka transisi energi akan diupayakan secara smooth dengan menguatkan investasi serta inovasi dan penerapan teknologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News