Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memastikan keseriusan dalam mencapai target net zero emission pada tahun 2060 lewat sejumlah strategi yang bertumpu pada pengurangan energi fosil dan penambahan energi baru terbarukan (EBT).
Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Edwin Nugraha Putra mengungkapkan, upaya mendorong pembangkit EBT untuk masuk ke dalam sistem kelistrikan masih menemui sejumlah kendala.
Salah satunya yakni persoalan oversupply yang masih terjadi padahal dalam beberapa tahun mendatang masih ada tambahan pembangkit-pembangkit baru yang bakal masuk dalam sistem kelistrikan.
Edwin menjelaskan, proyek 35 GW yang diinisiasi pada tahun 2015 menggunakan asumsi pertumbuhan listrik sebesar 8,5%. Dengan perkiraan tersebut, beban listrik diprediksi dapat mencapai 361 Tera Watt hour (TWh) pada tahun 2021 ini.
Hal ini pun juga sudah tertuang dalam perkiraan yang termuat di Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 lalu.
Baca Juga: Penanganan utang jadi salah satu fokus dirut baru PLN
"Ini berubah ke tahun 2025 karena realisasi dari pertumbuhan beban di 2019 tidak tercapai," jelas Edwin dalam webinar, Rabu (8/12).
Bahkan, asumsi ini pun kembali bergeser pasalnya pandemi Covid-19 kian memperburuk permintaan listrik. Untuk itu, beban listrik sebesar 361 TWh diprediksi baru akan terjadi pada 2028 mendatang.
Kendati demikian, Edwin memastikan PLN tetap berupaya mengejar target bauran EBT sebesar 23% dapat terwujud di tahun 2025 mendatang.
Merujuk pada peta jalan yang telah disiapkan PLN, maka sejumlah proyek EBT yang masuk dalam Proyek 35 GW akan dipercepat waktu komersial atau Commercial Operation Date (COD) ditahun 2025.
PLN menargetkan, sebesar 1,4 GW Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan 4,2 GW Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dapat dipercepat dan beroperasi pada tahun 2025.
Baca Juga: Sejumlah pekerjaan rumah menanti direktur utama yang baru PLN Darmawan Prasodjo
Edwin melanjutkan, jika merujuk pada RUPTL 2021-2030, maka tidak ada lagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru yang dimasukkan selain proyek yang memang sudah berjalan yang menjadi bagian proyek 35 GW.
Edwin mengakui, dominasi PLTU khususnya untuk sistem Jawa-Bali masih cukup besar. Sebagai contoh saja dari total 35 GW proyek pembangkit, sekitar 13 GW bakal masuk ke sistem Jawa-Bali dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
Hal ini berpotensi meningkatkan cadangan listrik mencapai 60-an% dari kisaran normal sebesar 30% hingga 35%.
Selain mempercepat masuknya pembangkit EBT ke dalam sistem, PLN juga bakal mengoptimalkan cofiring biomassa.
"PLTU kita itu energi primer batubaranya 10% sampai 20% kita ubah menjadi biomassa. Dengan perubahan ini kita seolah-olah memiliki pembangkit 2.700 MW EBT yang menghasilkan bauran kurang lebih 3% sampai 6%," ujar dia.
Langkah lainnya yakni dengan melaksanakan dedieselisasi pembangkit fosil di daerah remote. Menurutnya, mayoritas bakal digantikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang telah disertai dengan teknologi baterai.
Edwin bilang, penggunaan PLTS plus baterai ini masih lebih efisien ketimbang harus menggunakan diesel. Penggunaan PLTS plus baterai harganya mencapai US$ 17 sen hingga US$ 18 sen atau lebih rendah ketimbang biaya untuk diesel yang bisa mencapai US$ 20 sen.
Baca Juga: BPK: Pertamina dan AKR Corporindo belum setor pajak bahan bakar Rp 2 triliun
Edwin memastikan, ke depannya PLN berharap industri solar panel dan baterai dapat semakin maju sehingga dapat menciptakan harga yang efisien. Dengan demikian, penggunaan PLTS dan baterai dapat bersaing dengan energi fosil khususnya batubara.
Akan tetapi, jika memang belum memungkinkan, maka PLN bakal memaksimalkan EBT lain seperti panas bumi, air dan wind turbine.
Edwin melanjutkan, dengan sejumlah upaya ini maka emisi karbon yang dihasilkan pun juga dapat ditekan.
Edwin memberikan contoh, jika tanpa melakukan upaya apa-apa maka produksi energi yang saat ini sekitar 290 TWh akan naik menjadi 445 TWh pada 2030 mendatang. Peningkatan produksi energi juga berarti meningkatkan emisi dari 280 juta ton CO2 menjadi 433 juta ton CO2.
"Nah dengan beberapa mitigasi yang kami lakukan seperti tadi dedieselisasi, cofiring batubara, kemudian PLT EBT Base Load dan clean coal technology dapat menurunkan emisi di tahun 2030 hampir 100 triliun ton CO2," ujar Edwin.
Baca Juga: Sri Mulyani: Pertamina punya peranan penting dalam kurangi emisi gas rumah kaca
Dia menambahkan, sejumlah upaya tersebut baru merupakan rencana yang tertuang dalam RUPTL 2021-2030. Upaya ini dapat didorong jika ada bantuan pembiayaan dari luar negeri.
Edwin pun memastikan, PLN siap mengeluarkan setidaknya 5,4 GW pembangkit fosil dari sistem asalkan ada biaya untuk penggantian.
"Asalkan ada biaya untuk menggantikan (kontrak) Take or Pay (TOP) pembangkit-pembangkit tersebut sekitar US$ 3,8 miliar," kata Edwin.
Edwin memastikan jika ini dilakukan maka ada sekitar 900 metrik ton CO2 ekuivalen yang dapat dihilangkan. Menurutnya, dari pembangkit yang ada, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) akan menyumbang emisi sebesar 34 juta ton co2 pada 2030 mendatang. Sementara PLTU bakal menyumbang hampir 300 juta ton co2.
Edwin melanjutkan, produksi energi yang saat ini hampir mencapai 300 TWh akan naik tinggi hingga 1.800 Twh. Untuk memenuhi ini, masih akan ada pembangkit fosil yang masuk ke dalam sistem hingga 10 tahun mendatang.
Nantinya, pada tahun 2031 hingga 2060 masih akan diperlukan setidaknya 1.300 TWh, kebutuhan ini rencananya bakal disuplai dari pembangkit EBT. Total kapasitas pembangkit EBT yang dibutuhkan mencapai 230 GW dengan total investasi mencapai Rp 9.000 triliun.
Sementara itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Luh Nyoman Puspa Dewi memastikan ke depannya dukungan investasi untuk fosil akan kian sulit. Untuk itu penggunaan energi yang kini masih didominasi oleh energi fosil perlu disikapi secara bijak.
"Gak ada lagi dukungan investasi untuk fosil. Artinya dunia ini sudah tutup pintunya. Kita harus bijak gunakan fosil kita yang masih ada. Dari sisi teknologi melalui proses yang lebih bersih. Ini upaya pemerintah," ujar Dewi dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: BPK ungkap 14.501 permasalahan keuangan negara selama semester I-2021
Sekedar informasi, pemerintah menargetkan penurunan emisi mencapai 314 juta ton co2 pada 2030 mendatang dimana realisasinya baru mencapai 69 juta ton co2 pada tahun ini. Penurunan emisi sebesar 314 juta ton co2 ini pun diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp 3.500 triliun.
Komitmen mendorong EBT pun sebelumnya turut disampaikan oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo yang memastikan hal ini juga menjadi fokus ke depannya.
"Saat ini ada program NZE 2060, transisi energi. Maka perlu ada persiapan agar program ini berjalan dengan baik," kata Darmawan dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat PLN, Senin (8/12).
Darmawan pun memastikan, dengan hadirnya RUPTL 2021-2030 yang didominasi pembangkit EBT maka transisi energi akan diupayakan secara smooth dengan menguatkan investasi serta inovasi dan penerapan teknologi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News