Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
Selain mempercepat masuknya pembangkit EBT ke dalam sistem, PLN juga bakal mengoptimalkan cofiring biomassa.
"PLTU kita itu energi primer batubaranya 10% sampai 20% kita ubah menjadi biomassa. Dengan perubahan ini kita seolah-olah memiliki pembangkit 2.700 MW EBT yang menghasilkan bauran kurang lebih 3% sampai 6%," ujar dia.
Langkah lainnya yakni dengan melaksanakan dedieselisasi pembangkit fosil di daerah remote. Menurutnya, mayoritas bakal digantikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang telah disertai dengan teknologi baterai.
Edwin bilang, penggunaan PLTS plus baterai ini masih lebih efisien ketimbang harus menggunakan diesel. Penggunaan PLTS plus baterai harganya mencapai US$ 17 sen hingga US$ 18 sen atau lebih rendah ketimbang biaya untuk diesel yang bisa mencapai US$ 20 sen.
Baca Juga: BPK: Pertamina dan AKR Corporindo belum setor pajak bahan bakar Rp 2 triliun
Edwin memastikan, ke depannya PLN berharap industri solar panel dan baterai dapat semakin maju sehingga dapat menciptakan harga yang efisien. Dengan demikian, penggunaan PLTS dan baterai dapat bersaing dengan energi fosil khususnya batubara.
Akan tetapi, jika memang belum memungkinkan, maka PLN bakal memaksimalkan EBT lain seperti panas bumi, air dan wind turbine.
Edwin melanjutkan, dengan sejumlah upaya ini maka emisi karbon yang dihasilkan pun juga dapat ditekan.
Edwin memberikan contoh, jika tanpa melakukan upaya apa-apa maka produksi energi yang saat ini sekitar 290 TWh akan naik menjadi 445 TWh pada 2030 mendatang. Peningkatan produksi energi juga berarti meningkatkan emisi dari 280 juta ton CO2 menjadi 433 juta ton CO2.
"Nah dengan beberapa mitigasi yang kami lakukan seperti tadi dedieselisasi, cofiring batubara, kemudian PLT EBT Base Load dan clean coal technology dapat menurunkan emisi di tahun 2030 hampir 100 triliun ton CO2," ujar Edwin.
Baca Juga: Sri Mulyani: Pertamina punya peranan penting dalam kurangi emisi gas rumah kaca
Dia menambahkan, sejumlah upaya tersebut baru merupakan rencana yang tertuang dalam RUPTL 2021-2030. Upaya ini dapat didorong jika ada bantuan pembiayaan dari luar negeri.
Edwin pun memastikan, PLN siap mengeluarkan setidaknya 5,4 GW pembangkit fosil dari sistem asalkan ada biaya untuk penggantian.
"Asalkan ada biaya untuk menggantikan (kontrak) Take or Pay (TOP) pembangkit-pembangkit tersebut sekitar US$ 3,8 miliar," kata Edwin.
Edwin memastikan jika ini dilakukan maka ada sekitar 900 metrik ton CO2 ekuivalen yang dapat dihilangkan. Menurutnya, dari pembangkit yang ada, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) akan menyumbang emisi sebesar 34 juta ton co2 pada 2030 mendatang. Sementara PLTU bakal menyumbang hampir 300 juta ton co2.