kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.305.000   42.000   1,86%
  • USD/IDR 16.646   -12,00   -0,07%
  • IDX 8.187   2,51   0,03%
  • KOMPAS100 1.140   -4,24   -0,37%
  • LQ45 834   -2,79   -0,33%
  • ISSI 282   -1,31   -0,46%
  • IDX30 439   -1,61   -0,37%
  • IDXHIDIV20 506   -3,19   -0,63%
  • IDX80 128   -0,56   -0,43%
  • IDXV30 137   -1,35   -0,98%
  • IDXQ30 139   -0,85   -0,60%

IKI Oktober 2025 Capai 53,50, Hanya Industri Tekstil yang Kontraksi


Kamis, 30 Oktober 2025 / 18:54 WIB
IKI Oktober 2025 Capai 53,50, Hanya Industri Tekstil yang Kontraksi
ILUSTRASI. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan Oktober 2025 masih melaju di zona ekspansi.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan Oktober 2025 masih melaju di zona ekspansi. Survei Kemenperin merilis bahwa IKI Oktober 2025 berada di level 53,50.

Nilai IKI Oktober naik 0,48 poin dibandingkan bulan September 2025 dengan nilai IKI sebesar 53,02. Sementara itu, IKI Oktober 2025 menunjukkan peningkatan 0,75 poin dibandingkan dengan nIKI Oktober 2024 yang kala itu berada di level 52,75.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, kenaikan IKI Oktober 2025 ditopang performa industri manufaktur yang berorientasi domestik maupun ekspor. IKI Domestik naik 0,42 poin secara bulanan menjadi 52,34. Sementara IKI Ekspor meningkat 0,36 poin ke posisi 54,35.

Dari sisi variabel pembentuk IKI, Febri membeberkan bahwa pada bulan Oktober 2025, variabel pesanan baru meningkat sebanyak 1,46 poin menjadi 55,25. Variabel persediaan produk juga melaju dengan kenaikan 0,66 poin ke posisi 56,52.

Baca Juga: Kemenperin Ungkap Kinerja Industri Manufaktur, Berikut Rincian Sub-Sektornya

Hanya saja, IKI variabel produksi masih mengalami kontraksi dengan perlambatan 1,28 poin ke level 48,57. "Pesanan meningkat, tapi produksinya masih kontraksi. Industri memenuhi pesanan masih menggunakan stok yang ada di gudang," kata Febri dalam rilis IKI pada Kamis (30/10/2025).

Secara keseluruhan, Febri menerangkan, kenaikan IKI Oktober 2025 didorong hampir seluruh sub sektor industri manufaktur. Dari 23 sub sektor yang dianalis oleh Kemenperin, sebanyak 22 sub sektor mengalami ekspansi, dengan kontribusi sebesar 98,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas per triwulan II-2025.

Sub sektor dengan nilai IKI tertinggi adalah Industri Pengolahan Tembakau (KBLI 12) dan Industri Kertas dan Barang dari Kertas (KBLI 17). Sementara itu, hanya satu sub sektor yang mengalami kontraksi pada Oktober 2025, yakni Industri Tekstil (KBLI 13).

Febri mengungkapkan, kinerja industri kertas dan barang dari kertas terdongkrak oleh kenaikan permintaan dari pasar ekspor maupun domestik. Sedangkan ekspansi industri pengolahan tembakau terdorong oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah siklus panen tembakau.

Selain itu, Febri menyoroti bahwa industri pengolahan tembakau terdorong oleh sentimen positif dari pernyataan dan aksi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Terutama mengenai kebijakan cukai serta upaya memberantas rokok ilegal yang dinilai bisa menjadi angin segar bagi industri.

Febri mengakui, aksi Purbaya membawa sentimen positif terhadap sejumlah sub sektor industri manufaktur seperti industri pengolahan tembakau dan industri tekstil. "Kami menilai pernyataan tersebut memihak pada industri dalam negeri, dan itu juga mendapat respons positif dari pelaku industri," ungkap Febri.

Industri Tekstil Masih Kontraksi

Pada kesempatan yang sama, Rizky Aditya Wijaya sebagai Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin menyebut, kontraksi industri tekstil pada bulan Oktober ini bukan karena pelemahan struktural. Melainkan penyesuaian siklus permintaan, terutama dari pasar internasional seiring dinamika perdagangan global dan tren di industri fesyen menjelang pergantian tahun.

"Meskipun IKI (industri tekstil) secara agregat melambat, namun komponen produksi dan persediaan masih menunjukkan ekspansi. Menandakan bahwa aktivitas industri tetap berjalan dan produk masih terserap oleh pasar," kata Rizky.

Baca Juga: Penguatan Manufaktur Jadi Kunci Hadapi Tekanan Perang Dagang Global

Dia melanjutkan, perlambatan di industri tekstil terutama disebabkan oleh variabel pesanan baru. Hal ini dipengaruhi oleh penyesuaian stok di negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Menurut Rizky, fenomena serupa juga terjadi di negara produsen besar tekstil lain seperti China, India, dan Vietnam, yang sedang menyeimbangkan siklus pengiriman dan mengoptimalkan efisiensi rantai pasok global. "Kami optimistis memasuki akhir tahun 2025, industri tekstil Indoensia akan kembali bergerak menuju fase ekspansi," ujar Rizky.

Catatan Pelaku Industri

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto mengamini saat ini industri tekstil global tengah mengalami proses realignment antara sisi pasokan dan permintaan. Di AS dan Uni Eropa sebagai dua pasar utama tekstil dunia, para retailer besar melakukan koreksi inventori dan memperpendek siklus pemesanan dari 6–8 bulan menjadi rata-rata 3–4 bulan.

Kondisi ini berdampak pada redistribusi volume order dari kuartal IV-2025 ke kuartal I-2026, khususnya untuk kategori woven fabric, polyester filament, dan blended yarn. Anne bilang, sebagian pabrik di Indonesia menyesuaikan jadwal produksi dan pengiriman, bukan melakukan pengurangan kapasitas permanen. 

"Bagi pelaku industri, periode ini justru dimanfaatkan untuk melakukan optimasi mesin, efisiensi energi, serta pengendalian stok bahan  baku sebagai bagian dari strategi menjaga daya saing menjelang musim order baru," ungkap Anne saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (30/10/2025).

Namun, Anne memberikan catatan terhadap persaingan tidak sehat akibat impor ilegal, terutama pakaian bekas (balpres) yang masih menjadi tantangan besar bagi industri tekstil nasional. Anne, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) mendukung langkah pemerintah untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum.

"Bagi AGTI, pakaian bekas impor ilegal harus diperlakukan setegas barang terlarang lainnya, sebab dampaknya terhadap industri lokal bersifat sistemik dan berkepanjangan," tegas Anne.

Baca Juga: Evaluasi Setahun Prabowo-Gibran, Ini Catatan dan Harapan Pelaku Industri Manufaktur

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyoroti hal yang sama. Menurut Redma, prospek industri tekstil masih akan buram selama pemerintah tidak menciptakan iklim bisnis dan persaingan pasar yang fair melalui pemberantasan importasi ilegal dan penindakan terhadap importasi dumping.

"Barang-barang impor ini sudah menguasai pasar. Sebagian produsen sudah mengurangi produksi sangat banyak karena stok digudang mereka menumpuk tidak bisa terjual, hingga mereka kesulitan cashflow untuk beli bahan baku," kata Redma.

Redma menanti ketegasan pemerintah untuk menghentikan impor tekstil dan pakaian ilegal, sehingga bisa menghidupkan industri dalam negeri. "Ini sangat penting agar industri hilir, khususnya orientasi pasar domestik yang didominasi oleh industri kecil menengah bisa pulih lebih dahulu, sehingga bisa meningkatkan demand bagi industri antara dan industri hulu," tandas Redma.

Selanjutnya: Samudera Indonesia Tambah Armada Baru, Perkuat Ekspansi dan Akses ke Pasar Eropa

Menarik Dibaca: 3 Fakta Tentang Pori-Pori Wajah, Benarkah Bisa Dihilangkan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×