Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka genap menginjak usia satu tahun. Pelaku industri di sektor manufaktur menyodorkan sederet catatan dan harapan terhadap pemerintahan Prabowo - Gibran.
Catatan tersebut mencakup aspek operasional seperti pasokan dan harga gas industri. Secara bisnis, pelaku industri menyoroti persaingan dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri, hingga pelemahan daya beli masyarakat yang pada akhirnya menekan kinerja industri.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menagih realisasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) agar sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh pemerintah. Adapun, kebijakan ini merujuk pada Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025.
Baca Juga: Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran, Ekonomi dan Industrialisasi Perlu Perbaikan
Yustinus menggambarkan berdasarkan catatan FIPGB hingga September 2025, rata-rata realisasi pasokan HGBT di Jawa Bagian Barat masih sekitar 67%. Sedangkan di wilayah Jawa Bagian Timur hanya sekitar 54%.
"Harapan FIPGB adalah realiasi pasokan HGBT minimal 90% terhadap volume Kepmen, 10% deviasi untuk gangguan tidak terduga," ungkap Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/10/2025).
Sebagai bahan bakar maupun bahan baku, gas menjadi komoditas penting yang memengaruhi tingkat utilisasi produksi serta daya saing produk industri. Yustinus pun meminta agar gangguan pasokan seperti yang terjadi pada pertengahan bulan Agustus lalu tidak terulang lagi.
"Realisasi pasokan HGBT mencerminkan kemampuan pelaku industri dalam mencapai tingkat utilisasi. Perlu dicatat bahwa utilisasi produksi mencerminkan kinerja ekonomi nasional, yang akan mencerminkan juga kinerja Pemerintah," imbuh Yustinus.
Selain itu, pelaku industri menyoroti banjir barang impor serta pelemahan daya beli. Seperti di industri hulu tekstil, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyatakan dalam setahun terakhir ini belum ada kebijakan dan perbaikan yang signifikan untuk menguatkan kembali industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
"Kondisi sektor TPT masih dalam tekanan yang besar, terutama di sektor hulu yang justru kami melihat kebijakannya berpihak pada importir. Geopolitik bukan faktor dominan jika struktur industri kita kuat," tegas Redma.
Baca Juga: Polemik Kebijakan Migas di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo–Gibran
Redma menuntut adanya perbaikan tata kelola birokrasi dan pemerintahan yang lebih akuntabel dan transparan, serta kebijakan yang pro terhadap industri dalam negeri. Dalam hal pemberantasan impor ilegal, Redma menanti langkah nyata dari Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai serta Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru.
"Kami masih mempunyai harapan pasca Presiden mengganti Dirjen Bea Cukai dan Menkeu yang langsung menjadikan isu impor ilegal sebagai prioritas yang harus diselesaikan disertai penegakan hukum. Langkah pembersihan birokrasi harus terus dilanjutkan di kementerian teknis lainnya," kata Redma.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa, yang berharap pemerintahan Prabowo - Gibran, khususnya melalui Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bisa mendorong pemulihan industri tekstil melalui dua cara. Yaitu pemberantasan impor ilegal serta kebijakan yang bisa menggerakkan ekonomi dan menguatkan daya beli masyarakat.
"Jadi tantangannya daya beli dan perlindungan. Kalau daya beli lemah, hasil produksi industri mau dijual kemana? Lalu perlindungan, karena produk yang tidak terserap di negara produsen akan membanjiri negara yang lemah perlindungannya lewat impor legal maupun ilegal," terang Jemmy.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki mengamini, pemerintah mesti menumbuhkan kembali pasar dalam negeri. Rachmad mengungkapkan tekanan pasar domestik antara lain tampak dari penurunan penjualan mobil. Kondisi ini ikut menyeret industri komponen otomotif.
Selain itu, industri komponen otomotif lokal juga tertekan oleh banjir impor mobil listrik berbasis baterai (BEV) dalam bentuk utuh (CBU). "Artinya kami kena double impact. Harapannya sesuai dengan perjanjian, per Januari 2026 diharapkan BEV impor bisa mulai diproduksi di dalam negeri," ungkap Rachmad.
Dia juga berharap pemerintah bisa mengkaji kembali pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP), yang pada masa pandemi covid-19 lalu mampu mendongkrak industri otomotif. "Dengan begitu industri otomotif dan suppy chain-nya bisa tumbuh lagi, yang pada akhirnya bisa berefek membangkitkan sektor yang lain," kata Rachmad.
Potensi dari Perjanjian Dagang
Di sisi yang lain, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyoroti faktor eksternal, terutama dampak kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat (AS). "Pasar utama masih AS, sehingga konsentrasi risiko tinggi. Kinerja (industri mebel) sangat sensitif terhadap kebijakan tarif AS dan siklus permintaan di sana," tutur Sobur.
Berdasarkan catatan HIMKI, lebih dari 53% ekspor mebel dan kerajinan terserap ke pasar AS. Dus, pelaku industri mebel dan kerajinan ingin memacu diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Negeri Paman Sam.
Dalam upaya itu, perjanjian dagang memegang peranan penting. HIMKI pun berharap berbagai perjanjian dagang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bisa mendorong upaya diversifikasi pasar ekspor, terutama melalui perjanjian dagang dengan Eropa atau Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA).
"Dengan dukungan kebijakan domestik yang tepat seperti pembiayaan murah, insentif kepatuhan hijau dan percepatan IEU-CEPA, industri mebel dan kerajinan berharap tetap punya ruang tumbuh dan memperkuat daya saing global," imbuh Sobur.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko juga berharap perjanjian dagang bisa membawa industri alas kaki melangkah lebih mantap di pasar global. "Aprisindo menghargai upaya pemerintah dalam memperjuangkan tarif dengan AS dan upaya penyelesaian IEU-CEPA," kata Eddy.
Saat ini, pelaku industri alas kaki pun sedang mencari pasar baru di luar AS dan Eropa. Aprisindo melihat ada potensi pasa yang terbuka dari kawasan Asia dan Afrika. Eddy menegaskan, perluasan akses ke pasar ekspor mesti dibarengi dengan perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor, terutama yang dilakukan secara ilegal.
Pelaku industri TPT juga melirik peluang dari perjanjian dagang IEU-CEPA. Jemmy mengingatkan industri di Indonesia untuk menyiapkan diri supaya bisa memenuhi standar dan persyaratan dari Eropa. Salah satunya terkait dengan penggunaan energi hijau dalam proses produksi.
Dalam hal ini, Jemmy meminta kepada pemerintah agar mengebut pipanisasi gas di sentra industri tekstil seperti di Bandung Raya dan Solo Raya. "Untuk memasuki pasar Eropa kita harus siap dengan green energy. Jadi kami meminta kepada pemerintah agar industri tekstil bisa terkoneksi dengan energi yang lebih bersih, contohnya gas," tandas Jemmy.
Selanjutnya: DPK Perbankan Melambat, Dana Nasabah Mulai Mengalir ke Emas dan Aset Digital
Menarik Dibaca: Simak Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Selasa 21 Oktober 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News