kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Iklim Investasi di Hulu Migas Kurang Menarik?


Jumat, 26 Juli 2024 / 05:00 WIB
Iklim Investasi di Hulu Migas Kurang Menarik?
ILUSTRASI. Iklim investasi industri hulu migas di Indonesia nampaknya masih kurang menarik bagi investor.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Iklim investasi industri hulu migas di Indonesia masih kurang menarik bagi investor. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut menerangkan, pemerintah telah mengidentifikasi 11 isu utama yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya tarik investasi atau Investment Attractiveness Index Indonesia saat ini. Masalah utama investasi di hulu migas yaitu tumpang tindihnya perizinan dan kewenangan antar kementerian dan lembaga yang berbelit.

Selain itu, masalah seperti persetujuan izin lingkungan, peraturan terkait ruang laut dan pertanian, perpajakan migas yang kurang kondusif, hingga kurangnya dukungan dari sebagian pemerintah daerah turut menghambat investasi di hulu migas.

Riset dari lembaga independen Fraser Institute memaparkan skor Investment Attractiveness Index Indonesia hanya mencapai 45,17 pada 2023. Skor itu menempatkan Indonesia di peringkat 56 dari 86 negara. Padahal pada 2019, skor Investment Attractiveness Index Indonesia berada di level 73,09 atau berada di posisi 27 dari 76 negara saat itu.  

Baca Juga: Ini Alasan Digitalisasi Sektor Energi dan Mineral Perlu Didorong

Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, daya tarik investasi hulu migas di Indonesia cenderung menurun dalam 5 tahun terakhir. Pada dasarnya, budget untuk investasi hulu migas itu terbatas.

Menurut Pri, investor akan memilih mengalokasikan budget investasi yang lebih kompetitif. Jadi, menurunnya [investasi hulu migas] ini relatif dalam kaitan dengan portofolio investasi lain yang lebih kompetitif di tempat/negara lain ataupun jenis investasi lain yang terkait energi seperti investasi di bidang low carbon.

“Jika merefer riset tersebut, kan [masalahnya] terkait konsistensi kebijakan dan tata kelola,” kata Pri kepada Kontan, Kamis (25/7).

Pri menuturkan, dalam hal tata kelola Indonesia mempunyai UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sebetulnya sifatnya darurat dan harus direvisi karena beberapa pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran ada ketidakoptimalan tata kelola terkait kelembagaan dan pola pengusahaan. “Sudah cukup lama, sejak terbit paling tidak ini memberikan sinyal ketidakpastian bagi investasi,” sambungnya.

Masih menyoal tata kelola, Pri bilang beberapa tahun lalu pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan yang justru menimbulkan ketidakpastian baru, misalnya kontrak Gross Split yang sebenarnya bukan merupakan jawaban atas persoalan hulu migas di Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga melakukan beberapa kebijakan atau keputusan yang menimbulkan perubahan skema atau rencana pengelolaan lapangan, sehingga kemudian ada pergantian investor. Alih kelola dengan tidak memberikan perpanjangan kepada kontraktor lama (asing) mungkin juga turut memberikan sinyal yang kurang positif.

“Hal-hal seperti itu yang perlu diperbaiki. Menurut saya, tidak cukup lagi hanya sebatas memberikan insentif-insentif atau fleksibilitas kontrak seperti yang dilakukan selama ini. Itu positif, tapi tidak cukup,” tandas Pri.

Pengamat Migas sekaligus mantan President  Indonesian Petroleum Association (IPA) Tumbur Parlindungan menilai faktor utama penyebab investasi hulu migas kurang menarik adalah contract sanctity (kesucian contract) yang telah disepakati bersama, kepastian hukum dalam berinvestasi (banyaknya aturan-aturan yang kadang kala bertentangan dengan PSC agreement atau perjanjian lainnya. Perubahan harga gas tanpa melihat keekonomian dari lapangan/blok yang dikelola.

“Selain hal yang utama tersebut, koordinasi aturan antara kelembagaan, Pemerintah pusat dan daerah juga hampir bisa dikatakan tidak sinkron (berjalan tanpa arah yang jelas),” kata Tumbur kepada Kontan, Kamis (25/7).

Menurut Tumbur, investor sebetulnya tidak perlu insentif apabila semua aturan itu jelas dan bila ada perubahan peraturan tidak berlaku untuk hal yg telah disepakati sebelumnya.

Selain itu, kata Tumbur, competitiveness dari Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya baik dalam kemudahan berinvestasi. Dengan banyaknya investor kakap (super major and major oil companies) yang keluar dari Indonesia dalam 10 tahun terakhir, juga memberi sinyal kepada investor lainnya bahwa ada masalah dalam berinvestasi migas di Indonesia.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal saat ini investasi hulu migas juga terhambat oleh isu transisi energi yang membuat investor keluar dan balik ke daerahnya masing-masing untuk investasi di daerah.

Investasi hulu migas yang turun ini bisa dilihat dari realisasi produksi siap jual (lifting) minyak nasional. Kontan mencatat, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan kinerja produksi siap jual atau lifting migas semester I-2024 tak mencapai target.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, realisasi lifting minyak bumi tercatat sebesar 576 ribu barel per hari (bph) atau 91% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Lifting minyak sampai dengan semester I [belum tercapai] karena kita di semester 1 mengalami gangguan banjir di mana-mana. Sehingga drilling practice lebih dari satu bulan tidak bisa dilakukan sehingga mengakibatkan realisasi produksi minyak kita adalah 576 ribu bph," kata Dwi dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (19/7).

Kontan mencatat, Pemerintah telah menetapkan target lifting minyak di APBN 2024 sebesar 653 ribu bph. Dwi menuturkan, untuk lifting gas bumi pada semester I-2024 mencapai 5.401 mmscfd atau 92% dari target APBN. 

SKK Migas pun memproyeksikan produksi siap jual atau lifting minyak pada akhir 2024 sebesar 595 ribu barel per hari (bph).

Baca Juga: Menteri Luhut Sebut ada 11 Persoalan di Sektor Hulu Migas yang Perlu Perbaikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×