Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SEMARANG. Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya pemenuhan hak-hak pekerja, praktik konsumerisme etis menjadi tren yang menandai perilaku konsumen dalam membeli produk.
Di tengah-tengah tren ini, konsumen diyakini lebih menyukai produk-produk pakaian jadi dari produsen pakaian ataupun brand yang dipercaya menghormati hak-hak pekerja dalam menjalankan praktik bisnisnya.
Hal ini selanjutnya mempengaruhi pertimbangan brand-brand pakaian jadi internasional dalam menyeleksi suplier pakaian jadi untuk produk mereka.
“Para buyer (brand pakaian jadi) kini menjadi lebih lebih berhati-hati dalam membeli produk pakaian jadi karena konsumen akhir-akhir ini menjadi lebih sadar akan isu ini,“ ujar Direktur International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia dan Timor Leste, Michiko Miyamoto di sela-sela kunjungan ke Ungaran Sari Garments, Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (4/10).
Baca Juga: Beda Keinginan, Penetapan Upah Tahun 2020 Bakal Alot premium
Sejalan dengan pandangan tersebut, beberapa temuan survei menunjukkan bahwa perilaku konsumen di sejumlah negara memang dipengaruhi oleh pertimbangan etis.
Hasil temuan survei yang dilakukan oleh sebuah market intelligence bernama Mintel pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 56% konsumen di Amerika Serikat menyatakan akan berhenti melakukan pembelian terhadap produk dari brand-brand yang diyakini menyalahi standar-standar etis.
Sebanyak 27% di antaranya bahkan menyatakan akan tetap menghentikan pembelian produk dari brand yang menyalahi standar etis meski produk alternatif yang tersedia memiliki kualitas lebih rendah.
Lebih lanjut, sebanyak 35% dari responden bahkan menyatakan akan tetap menghentikan pembelian meskipun barang substitusi tidak tersedia di pasaran. Artinya, aspek etika menjadi pertimbangan yang lebih utama dibanding aspek kualitas bagi sejumlah konsumen.
Baca Juga: Buruh tolak kenaikan upah berdasarkan PP 78/2015
Hasil yang serupa juga dapat ditemui dalam temuan survei yang dilakukan Statista pada tahun 2018. Berdasarkan temuan tersebut, sebanyak 88% konsumen di Amerika Serikat menyatakan akan memboikot brand yang diyakini melakukan praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.
Sebaliknya, sebanyak 87% responden mengungkapkan akan membeli produk-produk dari perusahaan yang menyuarakan isu-isu yang juga menjadi perhatian konsumen.
Tidak hanya di Amerika Serikat, kecenderungan yang sama juga dijumpai di belahan wilayah lain seperti misalnya Birtania Raya.
Mengutip publikasi Reuters yang dimuat pada 10 Januari 2019, sebanyak 6 dari 10 konsumen di Britania Raya bersedia membayar harga lebih tinggi ketika membeli pakaian jadi apabila hak-hak pekerja untuk mendapatkan upah yang adil dipenuhi dalam proses produksi.
Baca Juga: Berapa besaran kenaikan upah ideal? Ini pendapat ekonom Indef
Berkembanganya tren konsumerisme etis pada konsumen tampaknya menjadi peluang bagi pelaku industri garmen lokal yang sudah menerapkan standar-standar ketenagakerjaan internasional dalam kegiatan produksinya.
Ambil contoh, PT Ungaran Sari Garments (USG) misalnya. Produsen garmen yang memiliki kapasitas produksi sebesar 33,6 juta potong per tahun ini telah berupaya menerapkan standar-standar ketenagakerjaan internasional dalam kegiatan produksinya pada beberapa tahun terakhir.
Hal ini di antaranya dilakukan dengan bermitra dengan ILO melalui program Better Work Indonesia (BWI) sejak tahun 2013.
Sebagai informasi, BWI merupakan program ILO yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pekerja, terutama pekerja perempuan pada industri garmen. Program ini dilakukan dengan bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC).
Melalui program ini, BWI memberikan pelatihan dan konsultasi mengenai penerapan standar ketenagakerjaan internasional dan undang-undang ketenagakerjaan nasional.
Baca Juga: Pengusaha desak pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan, ini penyebabnya
Tidak hanya itu, BWI juga menyediakan layanan penilaian untuk menentukan sejauh mana standar-standar ketenagakerjaan internasional sudah diterapkan oleh produsen garmen yang menjadi mitra.
Dari proses-proses penilaian tersebut, USG mendapatkan laporan penilaian yang dapat digunakan sebagai bukti kredibilitas perusahaan dalam mengimplementasikan standar-standar ketenagakerjaan yang ada.
“Dengan adanya laporan-laporan seperti ini, buyer (brand internasional) akan confident bahwa proses pembuatan garmen yang kami lakukan sudah memenuhi standar-standar ketenagakerjaan internasional yang ada,” ujar Senior HR and Compliance USG, Arif.
Hal ini diyakini telah memiliki dampak positif terhadap penjualan ekspor yang dilakukan oleh perseroan. Arif mengatakan bahwa perseroan berhasil mencatatkan pertumbuhan penjualan yang cukup signifikan setelah peningkatan implementasi standar ketenagakerjaan dilakukan.
Baca Juga: Kenaikan upah buruh tahun ini dikisaran 8%, ini skema penghitungannya
Pada tahun 2014, perseroan mencatatkan penjualan terhadap 22,92 juta pcs pakaian jadi dengan nilai transaksi sebesar US$ 188 juta. Nilai penjualan ini kemudian meningkat sebesar 20,81% menjadi US$ 227,1 juta di tahun 2018. Adapun jumlah kuantitas produk garmen yang berhasil dijual adalah sebanyak 29,37 juta pcs.
Asal tahu saja, produsen garmen yang memiliki tiga pabrik di Semarang ini memang menyasar brand-brand internasional dalam memasarkan produk-produk garmennya.
Beberapa brand pakaian jadi yang menggunakan produk garmen USG di antaranya seperti Tommy Hilfiger, Calvin Klein, Eileen Fischer, Lucky Brand, dan lain-lain.
Saat ini, Amerika Serikat memang masih menjadi negara tujuan ekspor utama bagi perseroan dengan persentase 85%-90% dari total penjualan. Sementara itu, sebanyak 10%-15% sisanya dijual ke pasar-pasar ekspor lain seperti Jepang, Kanada, Australia, serta negara-negara Eropa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News