kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Imbas Konflik Laut Merah, Harga Produk Industri Manufaktur Berisiko Naik


Selasa, 30 Januari 2024 / 08:19 WIB
Imbas Konflik Laut Merah, Harga Produk Industri Manufaktur Berisiko Naik


Reporter: Dimas Andi, Rashif Usman | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik geopolitik yang terjadi di Laut Merah menyulut kenaikan tarif angkutan logistik. Imbasnya, harga sejumlah produk industri manufaktur yang berbahan baku impor berisiko ikut naik di kemudian hari.

Dalam berita sebelumnya, Asosiasi Logistik Indonesia menyebut, ongkos kirim logistik atau freight cost naik sekitar 40% sampai 50%, baik untuk ekspor dan impor. Hal ini lantaran kapal-kapal kontainer terpaksa menghindari daerah konflik di Laut Merah dan harus memutar lewat Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Alhasil, waktu tempuh perjalanan kapal menjadi lebih lama.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan-Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, kenaikan tarif angkutan logistik menambah tantangan bagi industri makanan-minuman (mamin). Ini mengingat, harga komoditas yang menjadi bahan baku mamin masih rentan bergerak volatil sepanjang 2024.

"Selain harga bahan baku naik, kepastian pengirimannya jadi sulit diprediksi," ujar Adhi, Senin (29/1).

Akumulasi risiko kenaikan harga bahan baku dan tarif logistik berpotensi membuat biaya produksi mamin membengkak. Namun, besaran kenaikan biaya produksi tersebut bergantung pada komposisi bahan baku maupun komponen lainnya.

Baca Juga: Konflik di Laut Merah Membuat Tarif Logistik Pengiriman Meningkat

Sayangnya, para produsen mamin tidak bisa leluasa mengerek harga jual produk-produknya ke konsumen akhir hanya karena tarif angkutan logistik melonjak. Pasalnya, daya beli masyarakat Indonesia belum pulih sepenuhnya.

"Kalaupun (harga produk) naik tidak bisa tinggi," kata Adhi.

Sebelumnya, para produsen mamin juga menghadapi tantangan ketidakpastian pasokan gula rafinasi impor akibat efek El-Nino dan kebijakan pangan di negara penghasil komoditas tersebut.

Secara umum, Gapmmi memperkirakan pertumbuhan kinerja industri mamin nasional berada di kisaran 4% sampai 5% pada 2024.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengaku, konflik di Laut Merah tidak hanya berefek pada kenaikan tarif angkutan logistik, melainkan juga nerembet pada kenaikan harga bahan baku serat dan benang filament yaitu Methyl Ethylene Glycol (MEG). Harga jual MEG melonjak sekitar 3,4% dari US$ 580 per ton menjadi US$ 600 per ton.

"Sebanyak 90% MEG diimpor dari Arab Saudi, sepertinya kenaikan produk tersebut akibat kondisi di Laut Merah," tutur Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta, Senin (29/1).

Terlepas dari kenaikan harga bahan baku dan tarif angkutan logistik, sampai saat ini harga jual produk hulu tekstil belum mengalami kenaikan di pasar domestik. Para produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) di sektor hulu dan hilir pun sangat sulit melakukan penyesuaian harga jual. Maklum, industri TPT Tanah Air masih dibanjiri oleh produk-produk impor ilegal.

Di samping itu, para produsen TPT nasional juga masih kesulitan melakukan ekspor mengingat permintaan produk tekstil di luar negeri masih seret. Produktivitas pabrik-pabrik TPT pun mengalami pelemahan yang ujung-ujungnya pihak perusahaan harus melakukan efisiensi kepada para karyawannya.

Baca Juga: Harga Produk Bisa Naik Akibat Konflik Laut Merah, YLKI: Jangan Bebankan ke Konsumen

APSyFI mengaku belum mengetahui kapan industri TPT nasional akan pulih. Perhelatan Pemilu juga belum tentu membantu kinerja industri TPT.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut, ada kekhawatiran bahwa harga sejumlah produk kebutuhan sehari-hari yang memakai bahan baku impor mengalami kenaikan di pasar, sehingga merugikan konsumen.

Lantas, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi meminta, asosiasi-asosiasi produsen manufaktur yang produknya terdampak konflik di Laut Merah harus lebih kreatif mencari strategi untuk menekan ongkos logistik. Para produsen juga harus mampu mencari negara-negara alternatif penghasil bahan baku yang jalur pengirimannya tidak melewati Laut Merah.

“Mereka (produsen) tidak bisa serta merta membebankan kenaikan cost kepada konsumen akhir,” kata Tulus, Senin (29/1).tr

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×