kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Impor LPG capai 5,73 juta mt, pemerintah rogoh subsidi Rp 42,47 triliun


Kamis, 30 Januari 2020 / 17:45 WIB
Impor LPG capai 5,73 juta mt, pemerintah rogoh subsidi Rp 42,47 triliun
ILUSTRASI. Impor LPG masih membludak


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konsumsi Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg) terus menanjak. Padahal, pemenuhan kebutuhan LPG di tanah air masih didominasi oleh impor.

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas Kementerian ESDM Alimuddin Baso mengatakan, pada tahun 2019 ada 5,73 juta metrik ton (MT) LPG masih diperoleh melalui impor. Jumlah itu sekitar 75% dari total kebutuhan LPG nasional.

Sedangkan LPG yang diproduksi di dalam negeri baru sekitar 1,9 juta MT. "Sekitar 75% kebutuhan dari impor, sekitar 25% bisa kami penuhi," kata Alimuddin, Kamis (30/1).

Baca Juga: Lebih tepat sasaran, subsidi tertutup LPG 3 kg akan dimulai semester II-2020

Untuk LPG bersubsidi, Alimuddin mengatakan bahwa konsumsi LPG tabung 3 kg dalam rentang 2014-2019 terus menanjak. Adapun, pada tahun 2019 konsumsi LPG 3 kg mencapai 6,84 juta MT atau naik 4,8% dibanding tahun 2018.

"Volume LPG tabung 3 kg dari tahun ke tahun mengalami peningkatan konsumsi. Artinya, beban negara dari sisi pembiayaan subsidi cukup tinggi," jelas dia.

Alimuddin menyebut, harga LPG yang disubsidi berkisar di angka Rp 5.000 setiap kilogram. Terkait subsidi untuk LPG tabung 3 kg ini, pada tahun lalu, realisasi subsidi LPG menyentuh angka Rp 42,47 triliun.

Jumlah itu memang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di angka Rp 54,87 triliun. Namun, menurut Alimuddin, penurunan tersebut lebih disebabkan oleh faktor ekonomi makro dan harga komoditas.

"Subsidi turun lebih ke faktor makro. Tapi dari sisi volume terus naik. Semakin banyak yang dikonsumsi, akan semakin tinggi beban negara. Nah, bagaimana ke depan kami cari solusi supaya subsidi LPG tidak membebani keuangan negara," sebutnya.

Oleh sebab itu, Alimuddin mengatakan bahwa pemerintah tengah menyusun langkah agar konsumsi LPG bersubsidi bisa terkontrol dengan konsumen yang tepat sasaran. Sayangnya, Alimuddin enggan membeberkan detail strategi yang tengah disiapkan oleh pemerintah, termasuk mengenai jangka waktu kapan pengaturan distribusi LPG subsidi ini akan diterapkan.

Baca Juga: Pemerintah didesak tunda rencana pencabutan subsidi LPG 3 kg

Yang jelas, kata Alimuddin, pihaknya memastikan bahwa tidak akan ada penghapusan dan pengalihan subsidi yang menyebabkan kenaikan harga LPG tabung melon di pasaran. "Tapi ke depan memang konsumsi LPG 3 kg harus kita kontrol supaya tepat sasaran dengan kajian secara matang, uji coba, dan sesuai regulasi," ungkap Alimuddin.

Alimuddin menyebut, mekanisme yang tengah disiapkan memang mengarah pada distribusi tertutup. Namun, hal itu masih dalam kajian bersama kementerian dan lembaga terkait. Yakni Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Alimuddin bilang, salah satu pembahasan yang tengah dimatangkan ialah terkait dengan data penerima subsidi dan skema pembayaran subsidi. "Apakah nanti menggunakan sistem barcode atau seperti apa, masih dalam kajian bersama. Selain itu kami juga masih melakukan pematangan data penerima, supaya subsidi benar-benar tepat sasaran dan dapat diterima bagi yang berhak," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menegaskan, pemerintah tidak bisa serta merta mengubah skema subsidi LPG 3 kg. Pasalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah menjadi Undang-Undang (UU), perhitungan alokasi subsidi untuk LPG 3 kg masih berdasarkan skema yang ada saat ini. Adapun, alokasi subsidi untuk LPG 3 kg tahun 2020 ialah sebesar Rp 50,6 triliun.

Baca Juga: Soal pencabutan subsidi elpiji 3 Kg, Luhut: Tidak ada rencana merugikan masyarakat

Untuk itu, pemerintah perlu terlebih dulu membuat kajian yang matang baik secara regulasi maupun teknis, terutama mengenai kesiapan data, perhitungan keekonomian, dan juga uji coba penerapan di lapangan.

Kardaya menyayangkan, pemerintah terlebih dulu mengeluarkan wacana terkait subsidi LPG 3 kg ini ke publik, padahal belum menyiapkan skema yang matang. "Kalau mau diganti, harus jelas mekanismenya bagaimana? data nya ada nggak? kaji secara matang, diuji cobakan dulu. Harus begitu, karena ini menyangkut hidup orang banyak," kata Kardaya.

Sementara itu, menurut pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, pemerintah perlu menyiapkan strategi jangka pendek dan jangka panjang terkait dengan penggunaan LPG bersubdi ini. Dalam jangka pendek, kata Fahmy, pemerintah perlu segera mengubah skema distribusi dari terbuka menjadi tertutup.

"Kalau terbuka, siapa pun bisa beli, harga juga sulit diatur, seperti (mekanisme) pasar. Tapi jangan hanya wacana, harus ada roadmap yang jelas dan dijalankan," katanya.

Sementara untuk mengurangi impor LPG, dalam jangka panjang, Gahmy mengatakan bahwa pemerintah perlu menyiapkan diversifikasi energi untuk substitusi penggunaan LPG. Antara lain melalui jaringan gas kota (jargas) dan juga kompor listrik induksi.

Baca Juga: Pemerintah Rencanakan Pembatasan Penjualan Elpiji Berlaku Mulai Semester Kedua

Hal senada juag disampaikan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Sebagaimana di negara-negara maju, ungkap Komaidi, penyaluran subsidi yang paling tepat ialah ke sasaran atau langsung ke orang, bukan ke barang.

Namun, agar tepat sasaran, Komaidi menekankan pemerintah harus terlebih dulu mempunyai data penerima secara tepat. "Subsidi tertutup bagus, tapi data-nya bagaimana? Kalau (subsidi) ke barang dan nanti ada dua harga, pasti seperti hukum air, konsumen akan mencari (harga) yang paling rendah," katanya.

Terkait substitusi LPG, Komaidi menyebut selain jargas dan juga kompor induksi, gasifikasi batubara menjadi dimethylether (DME) juga bisa menjadi opsi. Namun, Komaidi mengatakan bahwa pemerintah juga perlu menghitung aspek fiskal dan moneter dari sejumlah opsi tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×