Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bersiap menghadapi tren kelebihan pasokan atau oversuplay minyak mentah dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
Menurut Wakil Direktur Utama Pertamina, Wiko Migantoro tren oversuplay ini didukung oleh beberapa hal.
Yang pertama, karena terjadinya peningkatan pasokan minyak global, yang tak hanya berasal dari negara Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) namun juga negara di luar OPEC.
Yang kedua, terkait dengan keputusan pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump yang pro-fosil membuat produksi minyak mentah negara Paman Sam itu meningkat.
Baca Juga: Impor Minyak dari Amerika Bakal Ditambah, Pertamina Butuh Dukungan Regulasi
Sayangnya, peningkatan produksi ini tidak disertai penyerapan yang seimbang di pasar global. Adanya penurunan demand dan ketidakpastian geopolitik, membuat banyak negara menahan pembelian minyak mentah.
"Ujung-ujungnya suplai meningkat dan harga crude menjadi turun. Ini sangat berpengaruh, khususnya di Pertamina untuk di sektor upstream," kata Wiko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR di Senayan, Kamis (22/05).
Asal tahu saja, harga minyak mentah global telah turun berkisar 15-20% dibandingkan harga tahun lalu, dari rata-rata US$ 78 per barrel menjadi US$ 65 per barrel pada bulan Mei 2025 ini.
Masalah Oversuplay Minyak Menjalar ke Bisnis Kilang
Bagai efek domino, kondisi oversuplay minyak mendorong terbentuknya kilang-kilang minyak baru diberbagai negara. Wiko menyebut fenomena ini membuat crack spread menjadi turun.
Untuk diketahui, crack spread ini menggambarkan selisih harga antara produk minyak bumi yang dimurnikan (seperti bensin, solar) dengan harga minyak mentah.
Dalam catatan Pertamina, crack spread telah menipis ke angka US$ 10 per barrel atau di bawah break even kilang yang dimiliki Pertamina, yaitu dengan nilai awal sekitar US$ 15 per barrel.
"Ini di-drive karena adanya oversupply produk dan crude yang mendorong crack spread menjadi turun, menurunkan gross refining margin kita menjadi titik terendah yang selama ini kita alami," jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Genjot Produksi Minyak! Target Tambahan 20.000 BOPD hingga Akhir 2025
Tak hanya bisnis upstream, bisnis midstream juga akhirnya menghadapi tantangan serupa. Wiko menambahkan, tekanan tak hanya dihadapi Pertamina, tapi juga dialami oleh beberapa pemiliki kilang besar di dunia seperti Chervon dan BP.
"Negara seperti Saudi, kemudian perusahaan besar Chevron telah membukukan kerugian dari bisnis kilangnya. BP juga demikian, bahkan membukukan impairment sampai US$ 2 miliar," kata dia.
Untuk mengantisipasi dampak negatif pada masa depan, Wiko bilang pihaknya kini tengah mendorong untuk melakukan optimasi-optimasi di bisnis kilang.
"Oversupply ini akan terus berlanjut sampai dengan beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu restrukturisasi di bisnis midstream menjadi hal yang penting saat dan saat ini di Pertamina dan sedang kita inisiasi untuk dilakukan," tutupnya.
Selanjutnya: Orang Tua Group Dikabarkan Mau IPO, Begini Faktanya
Menarik Dibaca: Bank CTBC Salurkan Pendanaan Lebih Dari Seperempat Triliun ke Easycash
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News