kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia krisis tenaga kerja profesional


Rabu, 22 Februari 2017 / 18:16 WIB
Indonesia krisis tenaga kerja profesional


Reporter: Asih Kirana Wardani | Editor: Asih Kirana

Tahun 2016 bukanlah tahun yang menyenangkan bagi sektor jasa keuangan di tanah air. Di sektor perbankan, misalnya, kredit tidak tumbuh tinggi. Merujuk data di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang tahun hingga November 2016 atau year to date (YTD), kredit di bank umum hanya tumbuh kepada pihak ketiga hanya tumbuh 5,59%.

Kendati tidak jor-joran, kredit bermasalah, toh meningkat pesat.  Per November 2016, tingkat kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) bruto di bank umum cukup tinggi, yakni 3,18%. 

Dengan kondisi bisnis perbankan yang kurang baik di sepanjang tahun lalu, tak heran jika perbankan mengerem penambahan tenaga kerjanya di tahun ini, terutama untuk level menengah hingga direksi. 

Secara umum, Michael Page, sebuah perusahaan perekrutan tenaga kerja eksekutif yang berpusat di Inggris, menyimpulkan, aktivitas perekrutan tenaga kerja di sektor perbankan sepanjang tahun ini akan cenderung stagnan. 

Namun, secara lebih mendetail, Robert Walters, perusahaan internasional yang juga bergerak di bidang head hunting, melihat, tidak semua posisi di perbankan akan sepi permintaan. Tahun ini, permintaan untuk posisi front office di perbankan, seperti customer relationship manager, akan cenderung sepi.

“Namun, aktivitas perekrutan untuk middle office dan back office masih akan sangat sibuk,” ujar Glorya Tay, Manager Financial Services & Legal Robert Walters Indonesia, kepada KONTAN, Rabu lalu (8/2).

Posisi middle office dan back office yang dimaksud, antara lain meliputi posisi compliance, risk management, dan audit. Selain itu, terkait dengan tingkat risiko yang meningkat dan regulasi dari OJK untuk mengetahui latar belakang klien, banyak pula permintaan profesional untuk mengisi posisi di departemen know your customer (KYC). 

Kekurangan pasokan hingga 60%

Sayang, permintaan yang tinggi tersebut tidak didukung oleh ketersediaan talent atau profesional yang memenuhi kualifikasi yang diminta perusahaan. “Ada volume kandidat yang sangat tinggi, tapi bukan berarti juga ada volume kualitas yang tinggi,” tutur Olly Riches, President Director Michael Page International Indonesia, kepada KONTAN, Kamis (9/2).

Robert Walters pun melihat kondisi serupa. “Kekurangan pasokan talenta masih menjadi masalah, sehingga mereka yang pindah mengharapkan kenaikan gaji yang cukup tinggi,” ujar Tay.

Berdasarkan survei Robert Walters, di tahun ini, para profesional di sektor jasa keuangan yang berpindah perusahaan mengharapkan kenaikan gaji rata-rata sekitar 35%.

Memang, dibandingkan ekspektasi kenaikan gaji di tahun sebelumnya yang bisa mencapai 65%, angka ini relatif kecil. Toh, angka ini tetap saja merupakan tekanan yang lumayan besar bagi perusahaan yang bersedia merekrut mereka.

Merujuk survei terbaru yang dilakukan The Boston Consulting Group (BCG) dan World Federation of People Management Associations, pada 2011, kekurangan pasokan tenaga kerja di level menengah sekitar 13%. Namun, pada 2020, bila tak ada terobosan untuk mengatasinya, kekurangan tenaga profesional di level middle management ini bisa melonjak menjadi 40%-60%. 

Kondisi itu bisa terjadi karena banyak perusahaan melihat Indonesia sebagai pasar yang sangat menggiurkan. Seiring dengan ekonomi yang terus tumbuh, perusahaan-perusahaan tersebut pasti juga akan terus melakukan perekrutan tenaga kerja.

Tahun lalu, produk domestik bruto (PDB) Indonesia terbesar di Asia Tenggara dan nomor delapan dunia. “Bagi banyak perusahaan, memiliki kantor di Indonesia telah berubah dari sesuatu yang nice-to-have menjadi must-have,” kata Riches.

Survei Michael Page terhadap perusahaan yang telah ada saja menunjukkan, tahun ini 53% perusahaan di Indonesia berencana menambah karyawannya. Angka ini lebih tinggi ketimbang Asia yang rata-rata 44%. 

Lantaran tak banyak penambahan jumlah profesional yang bagus di bidang-bidang yang permintaannya tinggi, kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia saat ini cenderung talent driven. Dus, talenta lebih leluasa meminta kenaikan gaji saat meloncat ke lain perusahaan.

Mengincar diaspora

Untuk mengurangi tekanan terhadap biaya yang mesti dikeluarkan perusahaan untuk merekrut karyawan baru ini, Tay mempunyai beberapa saran.

Pertama, alih-alih merekrut tenaga kerja yang sudah matang di pasaran, perusahaan lebih baik memberi pelatihan dan pendidikan bagi orang di dalam perusahaan yang kualifikasinya belum sampai seperti yang dibutuhkan, tapi punya potensi. Kedua, merekrut orang dari luar yang kualifikasinya belum sampai, kemudian mendidiknya sehingga sesuai kebutuhan. 

Selain itu, baik Robert Walters maupun Michael Page menyarankan agar perusahaan merekrut orang Indonesia berkualitas tinggi yang saat ini masih bekerja di luar negeri.

Menurut Michael Page, tahun lalu, 58% dari 335 perusahaan di Indonesia yang mereka survei merekrut setidaknya satu orang Indonesia dari luar negeri. Tren merekrut diaspora ini, menurut Riches, akan berlanjut tahun ini.

Apalagi, menurut survei Robert Walters, 85% orang Indonesia di luar negeri yang mereka survei sebenarnya punya keinginan untuk kembali ke Indonesia untuk bekerja. Entah karena alasan ingin dekat dengan keluarga atau pun karena merasa, Indonesia tetaplah rumah bagi mereka dan mereka ingin jadi bagian dari pembangunan Indonesia.

Selain keterampilan dan paparan praktik bisnis internasional, dibandingkan tenaga kerja asing, mereka punya kelebihan lebih paham kultur dan bahasa Indonesia.

Tentu, untuk menarik mereka perlu iming-iming memadai. Michael Page menengarai tiga faktor yang bisa menarik para pekerja potensial, yakni kenaikan gaji (72%), perkembangan karier (65%), dan fleksibilitas tempat kerja (36%).  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×