kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.596.000   -9.000   -0,35%
  • USD/IDR 16.805   35,00   0,21%
  • IDX 8.644   106,34   1,25%
  • KOMPAS100 1.196   14,99   1,27%
  • LQ45 852   6,61   0,78%
  • ISSI 309   4,03   1,32%
  • IDX30 439   3,37   0,77%
  • IDXHIDIV20 514   3,08   0,60%
  • IDX80 133   1,39   1,06%
  • IDXV30 139   1,20   0,87%
  • IDXQ30 141   0,87   0,62%

Industri Batubara Masih Akan Dibayangi Tekanan Global dan Biaya Produksi di 2026


Senin, 29 Desember 2025 / 20:14 WIB
Industri Batubara Masih Akan Dibayangi Tekanan Global dan Biaya Produksi di 2026
ILUSTRASI. Aktivitas Terminal Batu bara, pelabuhan palaran, Samarinda (KONTAN/Panji Indra)


Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri pertambangan batubara nasional diperkirakan masih menghadapi tantangan besar pada 2026, seiring dinamika ekonomi global, tekanan kebijakan energi, serta meningkatnya beban biaya operasional.

Meski begitu, sejumlah asosiasi memprediksi, permintaan batubara Indonesia dinilai masih akan bertahan, terutama dari negara-negara Asia yang mengandalkan batubara untuk menjaga ketahanan energi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menilai, prospek industri batubara pada 2026 akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia dan arah kebijakan energi negara konsumen. Dari sisi permintaan, batubara Indonesia masih dibutuhkan, meskipun pertumbuhan relatif terbatas. 

“Berdasarkan data yang kami miliki, permintaan impor batubara global saat ini cenderung stagnan dan hanya mengalami peningkatan terbatas di kisaran 0,5%,” ujar Gita kepada Kontan, Selasa (23/12/2025).

Dari sisi harga, Gita menyebut, pergerakan harga batubara masih sulit diprediksi karena volatilitas yang tinggi serta pengaruh berbagai faktor eksternal. Dengan kondisi tersebut, tren harga pada 2026 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan 2025, meskipun pelaku usaha berharap harga dapat bergerak lebih baik agar memberi ruang yang lebih positif bagi industri.

Baca Juga: Prospek Batubara 2026: Antara Pengaruh Harga Global dan Peran Bagi Penerimaan Negara

Tekanan, lanjut Gita, juga datang dari proses transisi energi global. Namun, dalam jangka menengah batubara menurut Gita masih menjadi sumber energi penting bagi banyak negara berkembang karena keandalan pasokan dan keterjangkauan harga. 

Pasar utama ekspor batubara Indonesia hingga kini masih berasal dari kawasan Asia, seperti China, India, Korea Selatan, serta negara-negara Asia Tenggara, meskipun pola permintaan dari negara-negara tersebut semakin selektif.

Dari sisi kebijakan domestik, Gita memahami bahwa kebijakan DMO, royalti, dan perizinan merupakan bagian dari upaya pemerintah menjaga ketahanan energi nasional dan penerimaan negara.

“Kewajiban tersebut pada prinsipnya telah menjadi komitmen pelaku usaha dan dari tren yang ada, realisasi DMO batubara selama ini dapat dipenuhi dengan baik,” ucapnya. 

Namun, tantangan utama industri terletak pada kebijakan harga jual batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang telah berlaku sejak 2018, sementara tekanan biaya produksi terus meningkat.

Selain itu, pelaku usaha juga mencermati adanya selisih antara harga batubara acuan (HBA) yang digunakan sebagai dasar perhitungan kewajiban dengan harga jual aktual, yang dinilai berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Dus, tantangan industri kian kompleks pada 2025 dan diperkirakan berlanjut ke 2026. Dari sisi teknis, penerapan kebijakan B40 kata Gita meningkatkan biaya produksi secara signifikan serta berdampak pada operasional alat berat dan biaya pemeliharaan.

Dari sisi non-teknis, muncul berbagai wacana kebijakan seperti target penurunan produksi, penerapan bea keluar batubara, perubahan kebijakan DHE SDA menjadi 50%, hingga larangan penggunaan jalan umum di Sumatera Selatan per 1 Januari 2026 yang berpotensi menghambat operasional sejumlah pemegang IUP.

“Berbagai wacana kebijakan tersebut tentu memengaruhi kepastian berusaha, terutama di tengah kondisi margin keuntungan perusahaan yang hingga Q3 tahun ini rata-rata hanya berada di kisaran 12%,” ujar Gita.

Baca Juga: Bea Keluar Batubara Berlaku Januari 2026, Penambang Masih Tunggu Aturan Detil

Pandangan senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia. Ia menilai kondisi pasar batubara global masih berada dalam situasi oversupply sehingga harga komoditas tertekan. 

“Kondisi pasar masih oversupply sehingga harga komoditas tertekan. Margin perusahaan magin tergerus dengan semakin naiknya beban biaya operasional terutama dari penerapan bea keluar di 2026,” kata Hendra.

Selain bea keluar, Hendra menyebut, aturan baru DHE turut menambah beban biaya bunga, sementara rencana penerapan biodiesel B50 pada 2026 akan semakin menambah tekanan biaya. Transisi energi global juga berdampak pada pelemahan permintaan impor, meskipun pasar utama ekspor batubara Indonesia masih bertumpu pada Tiongkok, India, serta negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara.

Dari sisi regulasi, Hendra menyebut, semakin banyak perubahan aturan yang berpotensi membebani pelaku usaha. Ia menyoroti rendahnya serapan DMO serta harga jual ke sektor kelistrikan yang masih tetap di level US$ 70 per ton. “Sementara itu, hilirisasi masih terkendala faktor keekonomian dan juga pembiyaaan,” imbuhnya.

Ke depan, pelaku usaha batubara cenderung lebih fokus pada efisiensi dan menjaga keberlangsungan usaha dibandingkan melakukan ekspansi agresif. 

Baca Juga: Mulai 2026, Produksi Migas Digenjot dan Batubara Dikendalikan

Selanjutnya: Cuan 60,88% Setahun, Harga Emas Antam Hari ini Melonjak Lagi (29 Desember 2025)

Menarik Dibaca: 4 Cara Merawat Rambut yang Diwarnai agar Awet dan Tetap Sehat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×