Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban bagi industri batubara dalam negeri berpotensi bertambah usai pemerintah memutuskan untuk mendorong pencapaian target penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai melalui bea keluar komoditas batubara dan emas.
Sontak, keputusan ini mendapatkan penolakan serempak dari para pelaku usaha. Menurut Executive Director Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia untuk menentukan bea keluar, pemerintah perlu menjelaskan secara rinci mengenai dasar dari penarikan tersebut, bukan hanya beralasan untuk menambah pemasukan bagi negara.
"Kalau kita lihat, bea keluar itu harus melihat dasarnya, misalnya karena memang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata dia saat dihubungi Kontan, Selasa (08/07).
Hendra menyebut, khusus untuk batubara, total dari produksi dalam negeri 75% masih dilempar ke luar negeri, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 25% saja.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Perluas Bea Keluar untuk Komoditas Emas dan Batubara
"Kita belum tahu persis dasar pengenaannya apa. Bea keluar ini jadinya beda dengan pajak-pajak yang lain, kami belum dapat informasi ini," jelas Hendra.
Ia juga menyebut, jika disahkan, penetapan bea keluar pada komoditas batubara terutama, akan menggerus pendapatan industri batubara dalam negeri. Di tambah, tahun 2025, harga batubara masuk dalam tren penurunan, akibat meningkatnya produksi dari dua negara importir batubara terbesar di dunia yaitu China dan India.
"Ini trend turun, harga operasional juga tetap, ini akan menekan potensi investasi perusahaan-perusahaan batubara kedepannya, karena kewajibannya bertambah," jelasnya.
Senada, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menyatakan bahwa penetapan bea keluar nantinya akan menambah rentetan biaya bagi perusahaan batubara dalam negeri.
"Bea keluar akan menambah biaya bagi perusahaan yang sangat berdampak. Apalagi dengan kondisi harga saat ini dan pelemahan permintaan global," ujar Gita saat dikonfirmasi, Selasa (08/07).
Gita menambahkan, dengan mayoritas produksi batubara dalam negeri yang diekspor, harga batubara untuk kebutuhan domestik jauh di bawah harga global, sekalipun sudah mengalami penurunan.
"Sementara untuk memasok dalam negeri harganya adalah harga khusus kisaran US$ 70 perton dan US$ 90 per ton," tambahnya.
APBI tambah Gita, memahami bahwa terdapat target untuk meningkatkan penerimaan negara kedepannya. Namun sebaiknya perlu juga mempertimbangkan banyak sisi termasuk dari dunia usaha yang kondisinya semakin berat.
"Beban biaya yang harus ditanggung perusahaan akan bertambah lagi dan kedepan akan berdampak pada iklim usaha batubara," tambahnya.
Disisi lain, Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menyebut rencana pengenaan bea keluar pada batubara dan emas merupakan langkah strategis untuk mengoptimalisasi kontribusi sektor pertambangan terhadap APBN. Namun, perlu dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan beban biaya yang harus dipikul oleh pelaku usaha pertambangan sekarang.
“Kami memahami kebutuhan negara dalam memperluas basis penerimaan. Namun penting juga agar implementasinya dilakukan secara bertahap dan memperhatikan struktur biaya yang dihadapi pelaku usaha, karena saat ini sektor pertambangan nasional sedang menghadapi tekanan turunnya permintaan dan harga komoditas di pasar internasional” ujar Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho, Selasa (08/07).
Fathul menambahkan, kebijakan bea keluar ini perlu diselaraskan dengan kondisi pasar global dan dinamika permintaan.
"Hal ini direfleksikan dari penurunan permintaan batubara dari China yang menurun 15% dan India yang menurun 7%. Kami berharap pemerintah dapat memberikan fleksibilitas melalui insentif bagi pertambangan di dalam negeri,” tambahnya.
Aspebindo ungkap dia, mendorong agar penetapan tarif dan mekanisme bea keluar dilakukan dengan melibatkan asosiasi usaha dalam proses penyusunan regulasi teknis.
“Kami percaya bahwa kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha adalah kunci agar kebijakan ini berjalan efektif tanpa menimbulkan kontraksi ekonomi, khususnya pada sektor energi yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia,” tegas Fathul.
Sebagai informasi, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyepakati peningkatan target penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026 pada Senin (07/07).
Target tersebut ditetapkan pada kisaran 1,18% hingga 1,30% terhadap PDB, naik dibandingkan dengan usulan awal pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF 2026 yang sebesar 1,21%.
Dan, salah satu kebijakan utama untuk mendorong pencapaian target tersebut adalah perluasan basis penerimaan bea keluar.
Termasuk bea keluar terhadap produk emas dan batubara yang sebelumnya tidak termasuk dalam daftar barang ekspor yang dikenai bea keluar.
Baca Juga: Siap-Siap, Pungutan Ekspor Batubara & Emas Mulai 2026
Selanjutnya: Trump Jadi Bahan Cela Usai Salah Sapa Presiden Bosnia di Surat Tarif Dagangnya
Menarik Dibaca: Di Tengah Ketidakpastian Global, Apakah Masih Relevankah Investasi Jangka Panjang?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News