Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah membuka peluang kawasan industri maupun gabungan kawasan industri untuk mengimpor kebutuhan gasnya sendiri.
Impor gas sendiri ini bisa saja dilakukan. Namun, harga yang dibayar untuk mengimpor gas dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) akan lebih mahal dibandingkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau kebijakan harga gas murah yang ditetapkan pemerintah US$ 6-US$ 7 per MMBTU.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, saat ini hampir tidak mungkin bagi industri untuk mendapatkan kontrak LNG yang bisa menurunkan cost of energy mereka di bawah harga HGBT.
"Rata-rata kontrak jangka panjang LNG saat ini berada dikisaran US$ 5 per MMBTU, ini belum termasuk biaya transport, insurance, regasifikasi dan penyimpanan," ungkap Yusri saat dihubungi, Jumat (20/06).
Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Potensi Industri Boleh Impor Gas Sendiri
Yusri juga menjelaskan, industri bisa saja mengandalkan harga spot LNG, namun harganya pasti lebih jauh dibandingkan dengan kontrak jangka panjang yang otomatis juga pasti akan jauh di atas harga HGBT.
"Kalaupun mau harga spot, lokasi pabrik mereka harus berada di lokasi-lokasi yang mudah diakses oleh kapal-kapal tanker LNG. Mereka pun masih harus menyiapkan tambahan peralatan seperti regasification unit dan tangki penampungan gas yang tentunya membutuhkan tambahan beban biaya," jelas Yusri.
Hal senada juga diungkap Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo.
Ia mengatakan jika dihitung dengan asumsi terjauh import LNG di Amerika Serikat (AS) dengan segala keperluan penunjang gas, paling tidak harga berada kisaran US$ 10 per MMBTU.
"Harga gas pipa ada di angka sekitar US$ 3,5 per MMBTU. Kemudian, liquifaction cost sekitar US$ 4 per MMBTU, shipping cost US$ 0,75 per MMBTU, kemudian regasifikasi and storage cost US$ 0,5 per MMBTU," ungkap Hadi saat dihubungi, Jumat (21/06).
Dengan biaya ini, akhirnya total di plant gate terminal regas sekitar US$ 8,75 per MMBTU. Kemudian, dialirkan kepada konsumen tergantung jarak dan modul delivery, dengan estimasi sekitar US$ 1 per MMBTU hingga US$ 2 per MMBTU.
"Artinya paling tidak konsumen di kawasan industri harus membeli dengan harga US$ 9,75 per MMBTU sampai US$ 10,75 per MMBU," tambahnya.
Dari sisi komersial, menurut Hadi, tantangannya adalah apakah industri mampu menyerap harga LNG di sekitar US$ 10 per MMBTU dengan hitungan konservatif tersebut.
"Menurut saya, industri yang bisa mendapat gas pipa yang murah, dengan LNG impor ini cukup berat. Jika tidak ada pilihan mereka akan tetap menyerap gas dengan harga tersebut, ujungnya akan dibebankan ke konsumen," ungkapnya.
Baca Juga: Tantangan Pasokan Gas Industri, Pemerintah Buka Opsi Impor untuk Atasi Keterbatasan
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, terdapat adanya potensi impor gas yang dilakukan secara mandiri oleh kawasan industri.
Hal tersebut, dikatakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM) Yuliot Tanjung. Menurutnya, regulasi impor secara mandiri ini bisa saja dilakukan jika pasokan gas dalam negeri tidak terpenuhi.
"Kalau ini di dalam negeri tidak mencukupi (gas), ini kita akan buka untuk kebutuhan industri," ungkap Yuliot saat ditemui di kantor ESDM, Jakarta, Jumat (20/06).
Yuliot bilang, gas adalah bahan baku yang sangat penting untuk menjaga produksi di kawasan-kawasan industri di Indonesia.
"Kalau industri tidak ada bahan baku yang berasal dari gas, ya kemudian itu juga untuk bahan bakar atau ini digunakan untuk pemangkin listrik itu tidak ada. Akhirnya kan kegiatan industrinya berhenti, jadi kita akan melihat pemanfaatan ekonominya," imbuhnya.
Selanjutnya: Ramalan Zodiak Minggu 22 Juni 2025: Prediksi Karier & Rejeki Akurat Hari Ini
Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Minggu 22 Juni 2025: Prediksi Karier & Rejeki Akurat Hari Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News