kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri desak regulasi dan kepastian hukum perlindungan data pribadi


Selasa, 30 Maret 2021 / 23:40 WIB
Industri desak regulasi dan kepastian hukum perlindungan data pribadi
ILUSTRASI. Perdagangan


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto

Clarisse Girot, Senior Fellow Data Privacy Project Lead, Association of Business Law Institute (ABLI) Singapura, menjelaskan bagaimana ketidakpastian hukum dan perbedaan antara undang-undang perlindungan data di Asia menjadi penghalang bagi aliran data dan membatasi peluncuran program manajemen privasi yang konsisten, yang merupakan andalan perusahaan layanan digital inovatif.

"Perbedaan yang ada tidak seharusnya menimbulkan beban biaya bagi kepatuhan, menghambat inovasi, dan mengalihkan sumber daya dari peningkatan perlindungan privasi, khususnya di Asean. Hal ini juga memicu celah dalam perlindungan bagi konsumen dan warga negara yang datanya ditransfer ke luar negeri, serta membatasi kapasitas kerja sama pihak berwenang," katanya dalam press rilis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (30/3).

Clarisse Girot bilang, di tengah krisis Covid-19 yang membuat berbagai kegiatan bisnis dilakukan secara virtual semakin menyoroti pentingnya dari kerja sama bagi arus data dan regulasi ini.

Baca Juga: Dua hari lagi berlaku, ini aturan perjalanan terbaru untuk cegah penyebaran Covid-19

“Sehingga untuk mengikuti tren yang ada, pemerintah Indonesia perlu secara aktif memfasilitasi kepatuhan dalam privasi dan perlindungan data, serta membangun strategi dengan melihat pengalaman dari negara lain. Hal positif yang terlihat adalah naskah RUU perlindungan data yang kuat, terlepas dari adanya kekurangan di mana salah satunya adalah kurangnya otonomi dari otoritas khusus perlindungan,” tambahnya.

Secara keseluruhan, ini menegaskan kembali pentingnya pemerintah Indonesia untuk mengadaptasi undang-undang yang dapat mengatasi risiko kejahatan dunia maya (cybercrimes) dan pelanggaran privasi atas data dari besarnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam naskah RUU PDP saat ini adalah fungsi Badan Pengawas yang akan berada di bawah jajaran kementerian, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Rofi Uddarojat, Kepala Kebijakan Publik Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) mengatakan, independensi otoritas perlindungan data sangat penting. "Otoritas pengawas yang independen dan berdedikasi dengan keahlian dan wewenang investigasi dan penegakan yang kredibel bermanfaat bagi individu dan operator bisnis," ujarnya.

Survei Mastel dan APJII pada tahun 2017 menemukan bahwa 79% responden di Indonesia keberatan jika data pribadi mereka ditransfer tanpa persetujuan dan izin yang jelas, dan 98% responden mendukung pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).




TERBARU

[X]
×