Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. European Business of Commerce (EuroCham) Indonesia atau Kamar Dagang Eropa di Indonesia menyoroti nilai-nilai perlindungan data bagi industri.
Oleh karena itu, EuroCham menggelar webinar pada Selasa (30/3) untuk menyoroti nilai-nilai perlindungan data bagi industri di tengah Rencana Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tengah digodok saat ini.
RUU PDP tersebut tengah digodok antara Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan Komisi I DPR RI dan ditargetkan rampung tahun ini. RUU ini akan memberikan hak penuh kepada pemilik data untuk mengontrol dan mengelola data pribadi mereka.
Perlindungan privasi serta data pribadi melibatkan serangkaian prosedur khusus meliputi persetujuan dan pemberitahuan, di antaranya melalui kewajiban regulasi, yang muncul atas asas sensitivitas dari data itu sendiri.
Baca Juga: Berlaku 1 April 2021, simak aturan terbaru perjalanan dalam negeri
Perlindungan data pribadi harus memastikan hak setiap konsumen dan perusahaan atas privasi dan keamanan yang menyertainya.
Menyadari sisi kompleksitas seiring dengan urgensi dan pentingnya peraturan perundang-undangan Perlindungan Data yang akan ditetapkan di Indonesia maka pelaku industri menilai harus ada kepastian hukum bagi industri untuk mengolah dan mentransfer data secara umum.
RUU PDP ini akan menjadi undang-undang yang pertama di Indonesia yang memberikan serangkaian ketentuan komprehensif untuk perlindungan data pribadi, tidak hanya melalui sistem elektronik tetapi juga non-elektronik, mengakui hak dan kewajiban para pemangku kepentingan yang terlibat.
Perlindungan hukum atas privasi data pribadi menjadi hal yang semakin mendesak dengan melihat potensi masa depan ekonomi digital Indonesia. Pemerintah menargetkan ekonomi digital bisa menyumbang UU$ 100 miliar terhadap ekonomi nasional pada 2025.
Sejalan dengan perspektif akan kecepatan pertumbuhan industri dan urgensi kebijakan, pemerintah harus mempertimbangkan aspek inovasi dari perusahaan layanan digital yang mampu mendobrak batasan dan hambatan.
Clarisse Girot, Senior Fellow Data Privacy Project Lead, Association of Business Law Institute (ABLI) Singapura, menjelaskan bagaimana ketidakpastian hukum dan perbedaan antara undang-undang perlindungan data di Asia menjadi penghalang bagi aliran data dan membatasi peluncuran program manajemen privasi yang konsisten, yang merupakan andalan perusahaan layanan digital inovatif.
"Perbedaan yang ada tidak seharusnya menimbulkan beban biaya bagi kepatuhan, menghambat inovasi, dan mengalihkan sumber daya dari peningkatan perlindungan privasi, khususnya di Asean. Hal ini juga memicu celah dalam perlindungan bagi konsumen dan warga negara yang datanya ditransfer ke luar negeri, serta membatasi kapasitas kerja sama pihak berwenang," katanya dalam press rilis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (30/3).
Clarisse Girot bilang, di tengah krisis Covid-19 yang membuat berbagai kegiatan bisnis dilakukan secara virtual semakin menyoroti pentingnya dari kerja sama bagi arus data dan regulasi ini.
Baca Juga: Dua hari lagi berlaku, ini aturan perjalanan terbaru untuk cegah penyebaran Covid-19
“Sehingga untuk mengikuti tren yang ada, pemerintah Indonesia perlu secara aktif memfasilitasi kepatuhan dalam privasi dan perlindungan data, serta membangun strategi dengan melihat pengalaman dari negara lain. Hal positif yang terlihat adalah naskah RUU perlindungan data yang kuat, terlepas dari adanya kekurangan di mana salah satunya adalah kurangnya otonomi dari otoritas khusus perlindungan,” tambahnya.
Secara keseluruhan, ini menegaskan kembali pentingnya pemerintah Indonesia untuk mengadaptasi undang-undang yang dapat mengatasi risiko kejahatan dunia maya (cybercrimes) dan pelanggaran privasi atas data dari besarnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam naskah RUU PDP saat ini adalah fungsi Badan Pengawas yang akan berada di bawah jajaran kementerian, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Rofi Uddarojat, Kepala Kebijakan Publik Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) mengatakan, independensi otoritas perlindungan data sangat penting. "Otoritas pengawas yang independen dan berdedikasi dengan keahlian dan wewenang investigasi dan penegakan yang kredibel bermanfaat bagi individu dan operator bisnis," ujarnya.
Survei Mastel dan APJII pada tahun 2017 menemukan bahwa 79% responden di Indonesia keberatan jika data pribadi mereka ditransfer tanpa persetujuan dan izin yang jelas, dan 98% responden mendukung pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Ardhanti Nurwidya, Manajer Senior Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Gojek mengatakan, pihaknya terus konsisten memastikan langkah-langkah keamanan dan keselamatan yang optimal untuk melindungi privasi data pengguna dan mitranya.
Baca Juga: Tata niaga unggas dinilai bermasalah, peternak minta perlindungan pemerintah
Ia bilang, sebagai pemain teknologi regional, Gojek mematuhi berbagai hukum dan peraturan yang berlaku serta praktik pasar. Kerangka regulasi di Indonesia memang belum tersedia, tetapi kesadaran akan keamanan dan keselamatan data telah dibangun dalam beberapa tahun terakhir.
"Semoga Perlindungan Data Pribadi yang akan datang di Indonesia akan membuat ekosistem teknologi kami lebih menonjol di kawasan ini," katanya.
Kurangnya kepastian hukum yang jelas atas Perlindungan Data dan tata kelola data menyulitkan industri untuk memahami persyaratan kepatuhan, meskipun ada niat untuk mematuhi regulasi.
Oleh karena itu, RUU PDP harus dibuat dan dilaksanakan oleh pelaku usaha karena mengatur operasional usaha mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News