Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Industri plastik hilir mengeluhkan minimnya pasokan dalam negeri yang hanya memenuhi sebagian kebutuhan mereka. Karenanya, mereka berharap pemerintah mempermudah impor polipropilena dengan memangkas bea masuk impor dari negara-negara di luar ASEAN.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada tahun 2010, industri plastik nasional harus mengimpor 485.000 ton polipropilena dari total kebutuhan sebesar 976.000 ton. Tahun ini, impor diperkirakan akan melambung lagi karena salah satu produsen polipropilena, Polytama, hampir satu tahun ini berhenti beroperasi. Padahal produksi Polytama sekitar 240.000 ton per tahun.
Apalagi harga polipropilena naik seiring kenaikan harga minyak bumi. Saat ini harganya mencapai US$ 1.700 per ton atau naik 10% sejak awal bulan Juli ini. Untungnya kenaikan harga itu sedikit tertolong penguatan rupiah terhadap dollar AS. Dengan kondisi ini, Presiden Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Tjokro Gunawan, menilai, semestinya keran impor bahan baku itu dibuka.
Sebenarnya saat ini impor polipropilena dari ASEAN sudah bertarif 0% dengan kerjasama perdagangan bebas. Namun, industri ingin bea masuk negara-negara di luar ASEAN yang kini sebesar 15% ikut dipangkas. "Harga bahan baku dari negara ASEAN belum tentu lebih murah dari negara lain," kata Tjokro kemarin.
Tjokro berkata, ada wacana pemerintah akan menurunkan bea masuk propilena dari 15% menjadi 10% dengan merevisi PMK 19/2009. Meski menyambut baik rencana itu, Aphindo masih berharap bea masuk itu bisa turun hingga 5%, bahkan kalau bisa dihapuskan.
PMK 19/2009 sebenarnya bertujuan melindungi industri hulu petrokimia di dalam negeri itu. Tapi Tjokro bilang, yang untung justru industri hulu di ASEAN. Sebab, industri plastik Indonesia yang minim pasokan dalam negeri mau tak mau harus impor dari ASEAN.
Ia menilai kebijakan proteksi industri hulu itu tidak perlu selama produksi polipropilena di dalam negeri terbatas, karena semuanya pasti akan terserap oleh industri hilir. Ketua Umum Asosiasi Industri Kemas Fleksibel Indonesia (Rotokemas Indonesia) Felix S. Hamidjaja pun sependapat. Menurutnya, plastik merupakan komoditas yang seharusnya bebas diperdagangkan di pasar global.
Sebaliknya, industri hulu justru keberatan. Corporate Secretary PT Chandra Asri, Sahat Miarso, menegaskan, bea masuk sebaiknya tetap 15% karena ini menjadi satu-satunya insentif bagi mereka. Jika bea masuk dari Timur Tengah diturunkan, industri petrokimia hulu di Indonesia tidak menarik lagi. "Sebenarnya kebutuhan impor industri hilir sudah dipenuhi ASEAN, sehingga bisa oversupply," keluhnya.
Kalaupun memang akan diturunkan, ia minta pemerintah memberlakukan tata niaga impor melalui importir produsen. Menurutnya, industri hulu petrokimia sulit memasok banyak polipropilena karena kesulitan bahan baku nafta. Maklum,Indonesia adalah net importer produk turunan minyak mentah itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News