Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia kembali mendaki ke zona ekspansi, naik 2,3 poin dari 49,2 pada Juli menjadi 51,5 pada Agustus 2025. Meski begitu, sebagian sub sektor industri manufaktur masih berhadapan dengan sederet tantangan.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengungkapkan PMI Manufaktur yang kembali ke zona ekspansi menandakan sinyal optimisme mulai terlihat lagi di sektor manufaktur secara makro.
Hanya saja, masing-masing sub sektor masih menghadapi sejumlah kendala yang bisa menghambat kinerjanya.
Abdul mencontohkan industri mebel dan kerajinan yang menghadapi tantangan kompleks, terutama eksternal dan tekanan biaya. "Outlook masih optimis, tapi kehati-hatian diperlukan," ungkap Abdul kepada Kontan.co.id, Selasa (2/9).
Baca Juga: PMI Manufaktur Sentuh Fase Ekspansif, Menperin: Industri Butuh Iklim Kondusif
Abdul menjelaskan, tarif resiprokal yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS) sebesar 19% berpotensi meningkatkan harga produk mebel dan kerajinan Indonesia sebesar 20%–35%. Pelaku industri pun mengkhawatirkan kondisi ini bisa melemahkan permintaan dari para pembeli di AS.
Situasi ini mengancam kinerja dan keberlangsungan industri mebel dan kerajinan. Apabila tidak ada mitigasi yang dilakukan, maka kondisi tersebut berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal hingga 270.000 tenaga kerja yang terserap di industri ini.
Abdul mengingatkan, pasar AS sangat signifikan, lantaran berkontribusi menyerap lebih dari 53% ekspor furnitur Indonesia.
"Ketergantungan pada pasar AS yang dominan membuat industri rentan terhadap kebijakan tarif dan fluktuasi ekonomi global. Kompetisi berat negara lain seperti Vietnam yang lebih dulu memiliki FTA (Free Trade Agreement) dan iklim investasi kondusif," terang Abdul.
Saat ini pelaku industri mebel dan kerajinan pun sedang fokus untuk melakukan diversifikasi pasar, mencari pasar alternatif di luar AS. Tujuan utama diversifikasi pasar menyasar wilayah Timur Tengah, Australia, China, dan India.
Selain itu, para pelaku industri juga aktif berpartisipasi dalam pameran. Salah satu agenda besar adalah VIFA ASEAN 2025 di Vietnam pada 26–29 Agustus 2025.
"Langkah ini menunjukkan komitmen penguatan posisi di Asia Tenggara, di mana sejumlah anggota HIMKI terpilih memperkenalkan produk Indonesia lewat enam perusahaan kurasi," imbuh Abdul.
Baca Juga: PMI Manufaktur Agustus 2025 Kembali Ekspansi, Begini Respons dari Pelaku Industri
Tantangan lainnya adalah biaya logistik dan regulasi, termasuk mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Secara internal, tantangan juga datang dari sisi gaya kompetisi yang menekan margin, serta kurangnya identitas produksi.
"Jadi perlu mentalitas baru: inovasi, kolaborasi, orisinalitas, dan kualitas agar Indonesia tidak hanya dianggap sebagai “pabrik murah” tapi pusat kreativitas global," tegas Abdul.
Dengan menimbang situasi tersebut, HIMKI memproyeksikan pada tahun ini industri mebel dan kerajinan akan tumbuh datar atau hanya tumbuh tipis di bawah 2% secara tahunan. "Ini menandakan harapan terhadap pemulihan atau moderat, agar pertumbuhan keseluruhan tetap positif meskipun kuartal II lemah," tandas Abdul.
Selanjutnya: Saham Japfa (JPFA) Tiba-tiba Melonjak 5,86% pada Selasa (2/9), Ada Apa?
Menarik Dibaca: 4 Efek Samping Skincare Overclaim untuk Kulit, Iritasi hingga Kerusakan Ginjal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News