kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.914   16,00   0,10%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Industri Tekstil dan Garmen Melemah, APSyFI Minta Pemerintah Turun Tangan


Jumat, 21 Oktober 2022 / 18:41 WIB
Industri Tekstil dan Garmen Melemah, APSyFI Minta Pemerintah Turun Tangan
ILUSTRASI. Bisnis tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi masa yang berat saat ini.


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi masa yang berat saat ini. Salah satu buktinya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami oleh pabrik tekstil Kahatex di Sumedang, Jawa Barat sebanyak 900 orang.

"Sebetulnya pasca Covid-19, bisnis tekstil sudah membaik dan kembali normal. Namun mulai di kuartal III 2022 ini bisnisnya drop sangat banyak," kata Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta kepada Kontan.co.id, Jumat (21/10).

Ia menyebut, setidaknya perusahaan tesktil sudah kehilangan sekitar 10% dari tenaga kerjanya hingga kuartal III 2022. Berdasarkan data selama pandemi hingga resesi saat ini, Redma mencatat permintaan garmen sudah menurun sebesar 80%. Angka ini sangat tinggi dan mengkhawatirkan terhadap masa depan industri garmen tekstil di Indonesia.

Dengan melihat hal tersebut, ia menilai, hingga pertengahan tahun depan, bisnis TPT akan terus ambruk jika pemerintah tidak menanganinya dengan serius.

Baca Juga: Pelaku Industri TPT Bakal Diuntungkan oleh Kebijakan Seragam Sekolah Terbaru

Redma menambahkan, salah satu penyebab industri TPT di dalam negeri terpukul adalah akibat banyaknya pembatalan dan pemangkasan order ekspor. Sementara, pasar di dalam negeri juga tidak banyak membantu karena daya beli masih lemah.

Akibatnya, terjadi penumpukan stok di pabrik, hingga memaksa perusahaan memangkas produksi. Kini marak perusahaan TPT di dalam negeri merumahkan karyawannya.

Berdasarkan informasi dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), jumlah pekerja industri TPT yang dirumahkan sekitar 43.000 orang.

"Masalah perekonomian di Amerika Serikat dan Uni Eropa menurunkan daya beli masyarakatnya, sehingga konsumsi mereka turun drastis. Di sisi lain, pada kuartal III di pasar domestik juga mulai dibandjiri barang impor dalam jumlah besar bagi importir pedagang padahal konsumsi dalam negeri masih cukup stabil, tapi diisi oleh banyak barang impor," ujarnya lagi.

Penjualan ekspor TPT paling besar ke negara-negara Eropa dan Amerika. Namun karena negara-negara di wilayah itu sedang melambat ekonomnya, permintaan dari sana menurun.

Dengan keadaan tersebut, Redma memproyeksikan PHK dan merumahkan karyawan masih akan terus berlanjut. Hal ini terpaksa dilakukan sebab banyak industri yang harus bertahan dengan melakukan efisiensi.

Redma menambahkan, pasar domestik masih akan menjadi satu-satunya harapan bagi produk TPT nasional. Dengan demikian, pihaknya menilai ada perlunya ketegasan dan kesamaan visi dari seluruh pihak yang berwenang agar kebijakan berpihak pada produk lokal. Hal ini termasuk untuk menyamakan visi dari seluruh jajaran birokrasi dari eselon 1 sampai 3.

Apsyfi juga melihat masih banyak oknum birokrasi yang berkepentingan terhadap bisnis impor ini, sehingga instruksi Presiden untuk menggunakan produk lokal tidak pernah tercapai.

"Salah satu jalan utamanya adalah maksimalkan penjualan di pasar lokal dalam negeri," kata Redma.

Baca Juga: Minat Terhadap Produk Fesyen Indonesia di Ajang Internasional Makin Meningkat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×