Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Arus digitalisasi di industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tak bisa ditolak layaknya yang terjadi di sektor lainnya. Pasalnya, digitalisasi menunjang produktivitas dan efisiensi industri.
Sebagaimana disampaikan CEO and Co-Founder 88Spares.com Hartmut Molzhan dalam ajang The International Textile Manufacturers Federationn (ITMF) di Nusa Dua Bali, Sabtu (16/9) kemarin.
"Digitalisasi itu datang untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Industri tekstil nasional yang mengambil pangsa pasar internasional 2% ini tak bisa menolak kehadiran digitalisasi yang sudah menjadi fenomena global," ungkap Hartmut dalam keterangan persnya.
Menurutnya, ada beberapa dampak dari digitalisasi yang terjadi pada sebuah industri yakni munculnya produk yang beragam, inovasi baru, dan terakhir model bisnis yang berubah. "Kita sudah lihat di industri penerbitan dengan Amazon dalam menjual buku yang mengubah semuanya. Ke depan saya prediksi ini bisa terjadi di industri tekstil dimana mass customization itu tak bisa dielakkan," katanya.
Ditambahkannya, 88spares.com dengan platform B2B marketplace ingin mendorong digitalisasi itu lebih cepat masuk ke industri tekstil nasional agar pelaku usaha Indonesia menjadi kompetitif di masa depan.
"Kita ingin menyambungkan pabrik, vendor, dan industri kecil menengah (IKM) agar bisa berbisnis secara efisien, cepat dan murah. Saat ini sudah saatnya pedagang dan pembeli melakukan perdagangan dengan cara e-Commerce yang tentunya bisa lebih efektif dan efisien dari sisi biaya dan waktu," katanya.
Ditambahkan, tekstil dan produk tekstil memang merupakan komoditas yang tidak akan pernah berhenti sehingga perdagangannya dibutuhkan dan pada akhirnya muncul pedagang baru serta menjadikan persaingan kian ketat.
Diakuinya, saat ini perdagangan suku cadang mesin industri tekstil dan produk tekstil masih didominasi oleh pedagang offline, yang banyak melibatkan pihak ketiga dalam proses transaksi sehingga harga akan lebih mahal.
"Kita ada dua fokus ketika sudah commerce. Pertama melayani kebutuhan pabrik kain untuk suku cadang. Kedua membuka akses bagi pabrik atau IKM untuk berinteraksi agar bisa mendapatkan barang murah yang ujungnya produk tekstil Indonesia itu kompetitif untuk ekspor," katanya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengakui perdagangan dunia sedang menuju kearah perubahan dimana konsumen memegang kontrol secara penuh. Tetapi, itu semua tidak akan meninggalkan basis produksi. "Pemain yang bermain di produksi harus dapat menyesuaikan dengan permintaan dari perubahan tersebut seperti less inventory, speet to the market, dan tentunya harus diikuti oleh supply chain yang terintegrasi," katanya.
Director General The International Textile Manufacturers Federation (ITMF) Christian Schindler mengatakan Indonesia adalah negara dengan rantai pasokan tekstil terpadu dari pemintalan hingga garmen. "Industri tekstil Indonesia mengalami pertumbuhan yang stabil dalam beberapa tahun terakhir dan berpotensi untuk mempercepat pertumbuhan ini di masa depan dengan memperbaiki lingkungan bisnis untuk investasi dalam dan luar negeri," katanya.
Diungkapkannya, sejak krisis keuangan tahun 2008, dunia telah berubah semakin cepat didorong oleh faktor teknologi, politik dan lingkungan. Teknologi telah mengubah industri tekstil secara mendasar, Industri 4.0 menjadi kenyataan yang jauh lebih cepat dari perkiraan, pola politik mengalami perubahan mendasar (nasionalisme dan proteksionisme), serta tantangan lingkungan lebih terlihat dari sebelumnya," tutupnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika menjadi pembicara di ajang ini pada Jumat (15/9) memproyeksikan pada 2019 ekspor TPT bisa mencapai US$15 miliar dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,11 juta orang.
“Kami memperkirakan pada saat itu akan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 1.638 ribu ton per tahun dengan nilai investasi Rp81,45 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 424.261 orang. Kita dorong industri TPT nasional agar segera memanfaatkan teknologi digital seperti 3D printing, automation, dan internet of things sehingga siap menghadapi era Industry 4.0. Upaya transformasi ini diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, selain melanjutkan program restrukturisasi mesin dan peralatan," pungkasnya.
Kementerian Perindustrian memperkirakan ekspor industri TPT akan tumbuh rata-rata 11% per tahun. Untuk tahun 2018, dipatok sebesar US$ 13,5 miliar dan tahun 2017 sebesar US$ 12,09 miliar. Di sisi tenaga kerja, pada 2018, diharapkan sektor ini menyerap sekitar 2,95 juta orang dan hingga akhir tahun ini sebanyak 2,73 juta orang.
Saat ini, industri TPT yang beroperasi di Indonesia telah terintegrasi dengan klasifikasi dalam tiga area. Pertama, sektor hulu yang didominasi menghasilkan produk fiber. Kedua, sektor antara, perusahaan-perusahaan yang proses produksinya meliputi spinning, knitting, weaving, dyeing, printing dan finishing. Ketiga, sektor hilir berupa pabrik garmen dan produk tekstil lainnya.
Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia untuk Manufacturing Value Added. Posisi ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News