Reporter: Eldo Christoffel Rafael, Tane Hadiyantono | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Daya beli masyarakat sepertinya semakin loyo. Tengok saja momentum Lebaran yang seharusnya menjadi masa panen berbagai industri, ternyata malah meleset dari target.
Data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia menyebutkan, penjualan ritel domestik selama periode Lebaran kemarin hanya naik 5%-6% dibandingkan bulan-bulan biasa. Padahal kenaikan tahun lalu bisa mencapai 16,3%.
Walhasil, kontribusi pendapatan dari periode Lebaran cuma 20%-30% dari total omzet ritel domestik. Ini jelas turun cukup dalam, lantaran tahun lalu sanggup memberi kontribusi hingga 40% dari total pendapatan ritel nasional.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, secara historis permintaan industri makanan dan minuman biasanya meningkat 20%-30% selama Lebaran. "Tapi kemungkinan besar permintaan di kuartal dua dibawah 20%," sebutnya ke KONTAN, Rabu (5/7).
Di bawah ekspektasi
Selain daya beli belum membaik, permintaan di bawah ekspektasi itu juga karena perubahan pola konsumsi masyarakat. Ditambah lagi, Juli ini masuk tahun ajaran baru. "Tanggal 13 Juli nanti, kami akan membicarakan hal ini dengan para pelaku industri," ujar Adhi.
Peter Chayson, Direktur PT Kino Indonesia Tbk, mengakui, masih ada pertumbuhan, tapi meleset dari target. "Penentuan di kuartal III. Semoga lebih baik," harapnya.
Sementara di sektor manufaktur, saat Lebaran lalu penjualan pabrikan mobil ke diler atawa wholesales menurun sebesar 26% (Harian KONTAN, 5 Juli 2017).
Nasib lebih parah terjadi di industri tekstil. Meski Lebaran identik dengan baju baru, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, penjualan produk tekstil di pasar domestik anjlok 30% pada kuartal II-2017. Padahal tahun-tahun sebelumnya, permintaan produk tekstil menjelang Lebaran melonjak signifikan. "Penjualan tekstil Lebaran tahun ini adalah terburuk dalam 30 tahun terakhir," terang Ade.
Selain daya beli dan tekanan kebijakan fiskal, produk impor membuat daya saing barang lokal rontok. "Karena diisi barang impor, kita kalah di daya saing," jelas Ade.
Prama Yudha Amdan, Corporate Communication PT Asia Pacific Fibers Tbk, mengamini apabila produk Indonesia kalah bersaing. "Biaya produksi tekstil Indonesia terdampak mahalnya biaya energi dan listrik," bebernya.
Menurut Prama, ada dua solusi pemerintah agar menyelamatkan industri dalam negeri. Yakni proteksi terhadap industri domestik dan meningkatkan daya saing melalui revitalisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News