Reporter: Agustinus Beo Da Costa, Azis Husaini | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Industri minyak dan gas bumi (migas) Tanah Air memang sedang payah. Pasalnya, SKK Migas memperkirakan nilai investasi migas kuartal I-2015 mencapai US$ 3 miliar atau turun 25% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 4,2 miliar.
Kepala Sub Bagian Komunikasi dan Protokoler SKK Migas, Zuldadi Rafli menyatakan, investasi migas memang mengalami penurunan karena beberapa hal. Diantaranya karena adanya kerugian kurs dan juga karena penurunan harga minyak dunia. "Memang turun turun investasi tahun ini sebesar 25%," ungkap dia kepada KONTAN, Selasa (5/5).
Dia menyatakan, saat ini investasi hulu migas pada kuartal I-2015 baru mencapai 17% dari target investasi migas tahun ini yang mencapai US$ 17,5 miliar. "Ini pun target investasi migas masih kami akan revisi yang sekarang sedang dilakukan," ungkap dia.
Gde Pradnyana Sekretaris SKK Migas menambahkan, masih rendahnya investasi migas salah satunya karena terkendala soal perizinan. Ia menyebut perizinan migas tengah dalam proses pengalihan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membutuhkan waktu untuk menata perizinan agar kontraktor migas bisa mudah dan cepat merealisasikan proyek. "Kami kan mesti menempatkan pegawai di BKPM," ujar dia.
Menurut President Indonesia Petroleum Association (IPA) Craig Stewart membeberkan, penurunan investasi sektor hulu migas di Indonesia ini terjadi karena adanya penurunan harga minyak dunia. Saat ini SKK Migas sudah meminta kontraktor migas melakukan revisi work program and budget.
Revisi ini dilakukan lebih awal dari jadwal normal yang mestinya Agustus 2015 menjadi Mei 2015. Hal ini merupakan konsekuensi dari penurunan harga minyak. Namun, hingga saat ini revisi rencana kerja dan anggaran masih sedang dilakukan dan belum ada hasilnya.
Dalam perkiraan Craig ada pengurangan investasi dari para kontraktor migas hingga 20% dari target investasi tahun ini sebesar US$ 17,5 miliar. Akibatnya, akan ada revisi dari produksi migas hingga mencapai 5%. "Produksi minyak dan gas memang akan lebih rendah," jelas dia.
Secara global memang sedang terjadi penurunan investasi antara 20%-30%, sehingga ada pengurangan tenaga kerja karena produksi minyak stagnan. Di Indonesia saat ini terdapat banyak lapangan-lapangan tua yang mengakibatkan beberapa proyek migas menjadi tidak ekonomis.
Untuk proyek-proyek migas yang biaya produksinya melampaui angka US$ 50 sampai US$ 60 per barel, tentu tidak menarik bagi perusahaan migas untuk berinvestasi. "Kami tentu enggan berinvestasi untuk proyek-proyek seperti itu," ujarnya dalam acara IPA Convex 2015, Selasa (5/5).
Waktu habis untuk izin
Hambatan investasi migas yang masih dirasakan para pengusaha migas yakni panjangnya birokrasi dan perizinan yang panjang sehingga banyak kontraktor kontrak migas enggan berinvestasi.
Chairman of IPA Convex 2015 yang juga Senior Vice President Government Policy and Public Affair Chevron Yanto Sianipar bilang, pihaknya mencatat adanya 341 perizinan yang harus diurus saat memulai kegiatan di sebuah lapangan migas. "Izin itu dimulai dari Amdal, izin lokasi, izin untuk peralatan, izin dan persetujuan SKK Migas. Semuanya dari awal sampai akhir," ujar Yanto.
Untuk mengurus seluruh perizinan bagi pengembangan sebuah lapangan migas bisa memakan waktu 10-15 tahun. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk perizinan itu cukup besar, termasuk untuk membayar pegawai, dan operasional kantor.
Jangka waktu kontrak yang tersisa setelah mengurus semua perizinan juga semakin sedikit. "Misalnya kita punya kontrak 25 tahun, hanya untuk bangun satu lapangan saja 10 tahun. Kebayang, enggak? keluh Yanto.
Perizinan yang harus diurus juga dimulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten. "Di daerah kalau urus Amdal, harus izin gubernur dulu. Juga harus urus RT/RW di BPN, harus ada persetujuan BPN, prosesnya panjang dari pusat sampai daerah," keluhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News