kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.927.000   10.000   0,52%
  • USD/IDR 16.295   -56,00   -0,34%
  • IDX 7.312   24,89   0,34%
  • KOMPAS100 1.036   -2,36   -0,23%
  • LQ45 785   -2,50   -0,32%
  • ISSI 243   1,24   0,51%
  • IDX30 407   -0,78   -0,19%
  • IDXHIDIV20 465   -1,41   -0,30%
  • IDX80 117   -0,14   -0,12%
  • IDXV30 118   -0,08   -0,07%
  • IDXQ30 129   -0,58   -0,45%

ISSC Soroti Serbuan Impor Baja dari Vietnam dan China, Desak Keadilan Regulasi


Kamis, 17 Juli 2025 / 19:08 WIB
ISSC Soroti Serbuan Impor Baja dari Vietnam dan China, Desak Keadilan Regulasi
ILUSTRASI. Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia Budi Harta Winata


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia Budi Harta Winata menyampaikan, keprihatinan mendalam terhadap derasnya arus impor baja konstruksi dari Vietnam dan China ke Indonesia.

Menurutnya, kondisi ini telah menyebabkan gangguan serius terhadap keberlangsungan industri baja nasional yang selama ini berupaya menjaga kualitas dan mematuhi regulasi pemerintah.

Baca Juga: Mitra Besi Baja Buka Toko Ritel Perdana di Sukabumi

"Sekarang ini kita kebanjiran produk impor dari Vietnam dan China. Hal ini sangat mengganggu keberlangsungan industri konstruksi baja dalam negeri," ujar Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7).

Budi menjelaskan banyak pelaku industri baja nasional kini kesulitan mendapatkan proyek karena kalah bersaing dari segi harga dengan baja impor.

Padahal, lanjutnya, harga bukan satu-satunya tolok ukur, sebab produk baja dalam negeri dirancang mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2020, yang mengatur bentuk, spesifikasi, hingga standar ketahanan terhadap gempa.

Menurut Budi, masih ada persepsi yang keliru bahwa produk baja lokal dianggap mahal. Padahal, kata dia, mahal tidak selalu identik dengan pemborosan, melainkan disesuaikan dengan ketentuan pemerintah, kebutuhan mutu dan keselamatan bangunan.

"Ada salah persepsi kalau konstruksi baja dalam negeri itu dibilang mahal. Bukan mahal, tapi memang secara bentuk dan spesifikasinya berbeda karena harus mengacu pada peraturan SNI tahun 2020 terkait desain hingga standar tahan gempa," ucap Budi.

Baca Juga: IISIA Waspadai Ancaman Ganda bagi Baja RI: BMAD China dan Tarif Trump

Budi menambahkan, untuk proyek-proyek pemerintah, saat ini penggunaan baja lokal masih relatif aman karena memang diwajibkan mengacu pada SNI.

Namun, ia mengungkapkan adanya penurunan permintaan yang signifikan akibat penghematan anggaran di sektor pemerintah.

"Saat ini terjadi penghematan anggaran yang membuat permintaan pekerjaan mengalami penurunan. Ketika pekerjaan dari pemerintah, terutama dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), tidak ada, kita tentu berharap dari proyek-proyek swasta," katanya.

Namun, dari awal tahun hingga pertengahan 2025 ini, Budi menyebut belum ada pekerjaan signifikan yang diterima, baik dari sektor pemerintah maupun swasta.

Kondisi ini semakin diperparah oleh keberadaan baja impor yang tidak mengikuti standar nasional, namun tetap digunakan karena harganya lebih murah.

"Dari Januari sampai sekarang, belum ada pekerjaan dari pemerintah, sedangkan pekerjaan dari swasta juga tidak ada karena kita kalah dengan produk baja dari Vietnam dan China. Spesifikasi produk mereka lebih kecil, tidak sesuai SNI, dan ini sangat mengganggu produksi baja dalam negeri," lanjut Budi.

Baca Juga: Prospek Industri Baja Dibayangi Dampak BMAD China dan Tarif Resiprokal AS

Budi menyoroti ketidakadilan dalam penerapan regulasi antara produk baja lokal dan impor. Ia mengusulkan agar pemerintah menegakkan peraturan secara konsisten terhadap semua produk baja yang masuk ke pasar domestik.

"Mestinya harus ada peraturan yang sama biar adil. Jangan kita konstruksi baja lokal harus mengikuti aturan, sedangkan yang dari luar negeri itu tidak pakai aturan itu," sambung Budi.

Budi mengatakan produsen dalam negeri sebenarnya mampu memproduksi baja serupa dengan yang diimpor, bahkan dengan harga lebih murah karena tidak ada biaya pengiriman.

Namun, industri dalam negeri memilih tidak mengambil jalur tersebut karena mempertahankan integritas terhadap standar mutu.

"Kami bisa saja membuat produk seperti dari Vietnam dan Cina dengan harga yang pasti jauh lebih murah karena tidak ada ongkos kirim. Tapi kan kita tidak berani karena itu tidak sesuai standar SNI," ucap Budi.

ISSC, lanjut Budi, menegaskan pihaknya tidak menolak kehadiran produk asing, tetapi menginginkan persaingan yang sehat dan adil.

Baca Juga: China Kenakan BMAD Stainless Steel dari Indonesia, Harga Bijih Nikel Bisa Terkoreksi

"Kita bukan anti asing, tapi kita ingin adanya persaingan yang sehat. Kalau mereka boleh bikin produk baja seperti itu, harusnya kita juga boleh. Kalau memang tidak boleh karena tidak ada SNI, harusnya mereka tidak boleh masuk dong," ucap Budi.

Budi juga menekankan pentingnya konsistensi dalam penerapan regulasi terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan SNI.

Ia menyayangkan produk lokal yang sudah mematuhi dua aspek penting tersebut justru kalah bersaing karena pemerintah tidak tegas menolak produk yang tidak memenuhi standar tersebut.

"Kita mendorong adanya konsistensi dalam menerapkan aturan. Kita selama ini patuh menerapkan produk sesuai SNI dan TKDN, tapi kenyataannya produk yang tidak memiliki TKDN justru itu yang dipakai di Indonesia," kata Budi.

ISSC berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk melindungi industri baja nasional, termasuk dengan memperketat pengawasan terhadap produk baja impor yang tidak memenuhi standar, serta memberikan insentif dan perlindungan lebih kepada produsen lokal yang telah taat pada regulasi nasional.

Selanjutnya: Intip Prospek Saham Aspirasi Hidup (ACES) Usai Tebar Dividen

Menarik Dibaca: Jawab Kebutuhan Wanita, Kérastase Luncurkan Produk Perawatan Rambut Gloss Absolu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×