Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menerapkan program bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40% atau B40 mulai 1 Januari 2025.
Pada tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kuota 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi Public Service Obligation atau PSO. Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
Dalam implementasi di tahun-tahun sebelumnya, seluruh alokasi B40 disubsidi oleh pemerintah. Keterbatasan dana subsidi atau dana insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau yang kini telah berganti nama menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menjadi salah satu alasan subsidi hanya diberikan untuk 7,55 juta kl biodiesel.
Baca Juga: Kendala Penerapan B40: Dana Subsidi Terbatas Hingga Masalah Transportasi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan, dengan skema subsidi saat ini maka perlu ada pengawasan untuk menghindari terjadinya penyimpangan konsumsi akibat selisih harga.
"Sistem distribusi harus diperhatikan, untuk B40 subsidi harus dipastikan untuk yang berhak," kata Bisman kepada Kontan, Jumat (21/2).
Bisman melanjutkan, Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) perlu menjalankan fungsi pengawasan secara ketat.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, fungsi pengawasan dan distribusi akan dilakukan sesuai ketentuan yang ada.
"(Akan dilakukan) sesuai Keputusan Menteri ESDM yang telah ditetapkan. Di dalamnya ada ketentuan terkait pengawasan dan spesifikasi serta ketentuan lainnya," ujar Eniya ketika dihubungi Kontan, Jumat (21/2).
Baca Juga: Program B40 Berjalan, Aprobi Beberkan Tantangan Harga
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai dengan adanya dua jenis produk antara PSO dan non-PSO maka ada potensi peralihan konsumen.
"Konsumen umumnya akan tetap bertahan pada yang harganya murah," terang Fahmy kepada Kontan, Jumat (21/2).
Dampak Kenaikan Ongkos Sektor Industri
Penerapan kategori kuota B40 untuk PSO dan non-PSO dinilai bakal memberikan dampak pada sektor industri yang mendapatkan mandatori implementasi B40.
Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono mengungkapkan, dalam kebijakan tahun ini pemerintah menghapus dua skema subsidi.
Pertama, subsidi untuk selisih harga biodiesel atau FAME dengan BBM berbahan bakar fosil. Kedua selisih jarak angkut FAME karena pabriknya mayoritas berada di Sumatera sementara konsumennya tersebar diseluruh Indonesia.
Baca Juga: Harga FAME Masih Jadi Tantangan Program Biodiesel B40
"Beban akhirnya dialami oleh pemilik tambang atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) karena kenaikan BBM lebih dari 20%," ungkap Bambang kepada Kontan, Jumat (21/2).
Bambang menjelaskan, pihaknya telah menyuarakan kendala ini kepada Kementerian ESDM. Pihaknya berharap agar pemerintah kembali mempertahankan subsidi jarak yang berlaku ditahun-tahun sebelumnya.
Selanjutnya: Okupansi Pusat Perbelanjaan Milik Metropolitan Land (MTLA) Capai 90%
Menarik Dibaca: WRC Gandeng BTN Kerjasama Strategis untuk KPR Terjangkau di Paradiso @ Sentul
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News