Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Jakarta memang masih merupakan pasar paling diincar para pengembang raksasa. Bahkan, konsultan properti asing, Knight Frank, menempatkan kota ini sebagai terpanas di dunia selama dua kali berturut-turut pada 2012, dan 2013.
Namun, ketidakjelasan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyangkut perizinan, peningkatan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan penalti KLB bila kedapatan terdapat penambahan, selama hampir 2 tahun ini, membuat mereka semakin intensif berpaling ke daerah.
Para pengembang yang agresif berekspansi ke kota-kota besar di luar kawasan Jadebotabek dan Pulau Jawa adalah pengembang kelas atas yakni Ciputra Group, Lippo Group, Summarecon Agung, dan Sinarmas Land Group. Di kelas menengah terdapat Metropolitan Land, Gapura Prima Group, Intiland Development, dan Bakrieland Development.
Senior Associate Director and Head of Research & Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Arief N Rahardjo, mengatakan, ketidakjelasan faktor-faktor tersebut di atas membuat pengembang mencari pasar di daerah yang daya beli serta gaya hidupnya setara dengan Jakarta dan kawasan Jadebotabek.
"Itulah mengapa, para pengembang yang sudah dan sedang menancapkan kukunya di daerah juga mengembangkan properti komersial seperti pusat belanja sebagai fasilitas yang melengkapi hunian sebagai properti utamanya," jelas Arief kepada Kompas.com, Jumat (14/3/2014).
Kehadiran para pengembang nasional di daerah, lanjut Arief, membawa alternatif produk yang belum pernah ada sebelumnya. Konsumen daerah memiliki banyak pilihan produk properti yang bisa mereka beli dan miliki.
Hati-hati
Hanya, imbuh Arief, pengembang harus berhati-hati. Jangan asal membangun. Kaji dahulu pasar daerah yang akan dimasuki. Kendati jumlah populasi banyak, namun bila daya beli kurang, akan menjadi bumerang bagi pengembang. Alih-alih meraup untung, malah buntung kemudian.
"Jika ingin membangun properti, pilihlah jenis properti hunian. Pasalnya pasokan hunian di daerah masih sangat terbatas. Setiap tahun paling banter hanya 10.000 unit yang masuk pasar. Sementara kebutuhan kian meningkat, seiring dengan aktivitas kegiatan bisnis," tandas Arief.
Properti lainnya adalah pusat belanja. Properti jenis ini memang lekat kaitannya dengan jumlah populasi. Untuk itu, usahakan membangun pusat belanja di kota-kota dengan densitas populasi tinggi. Daya beli dan gaya hidup harus dipertimbangkan oleh pengembang yang ingin menyasar segmen menengah, dan menengah ke atas.
Sementara properti yang harus dihindari pengembang adalah perkantoran. "Perhatikan habit atau kebiasaan berkantor masyarakat atau pebisnis lokal. Apakah mereka lebih suka berkantor di ruko dan rukan, atau sudah bergeser ke gedung perkantoran? Jangan terkecoh oleh aktivitas bisnis, sementara habit masih tradisional," ujar Arief.
Sebagai contoh, dia menambahkan, Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saja belum menunjukkan geliat perkantoran. Bagaimana pula dengan kota lainnya? Pasar perkantoran di Surabaya, hanya 15 sampai 20 persen dari total pasar perkantoran Jakarta.
"Kota lain di luar Jakarta, dan Surabaya, belum menampakkan pertumbuhan signifikan. Jadi, masih terlalu prematur untuk membangun gedung-gedung perkantoran di Medan, Makassar, Balikpapan, Pekanbaru atau Manado. Bandung saja yang dekat dengan Jakarta masih dipenuhi oleh perkantoran milik perusahaan atau owner occupied," jelas Arief. (Hilda B Alexander)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News