Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri otomotif nasional tengah menghadapi kombinasi tekanan yang semakin kompleks. Tidak hanya penjualan mobil yang melandai akibat daya beli masyarakat yang melemah, Agen Pemegang Merek (APM) juga mulai memangkas produksi kendaraan secara signifikan.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, total produksi mobil nasional pada Januari–Juni 2025 turun 9.437 unit dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dari 561.946 unit menjadi 552.509 unit.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menyebut fenomena ini sebagai bentuk “perfect storm” yang menekan industri otomotif dari berbagai arah sekaligus.
“Semua kombinasi yang ada ini menciptakan perfect storm bagi dunia produksi. APM tidak dapat memproduksi apa yang tidak hitungan keekonomian mereka. Dengan biaya total produksi yang jauh lebih mahal, mereka tidak mungkin menjualnya di tengah captive market yang semakin lesu,” ujar Yannes kepada Kontan, Minggu (13/7.
Baca Juga: Industri Otomotif Terpuruk, Gaikindo Cari Strategi Pulihkan Penjualan Mobil
Yannes menjelaskan, selain faktor daya beli masyarakat yang melemah, ada kombinasi hambatan lain yang membuat industri otomotif semakin sulit bergerak. Ia menyebut pelemahan ekonomi global, krisis geopolitik dan geoekonomi yang mengganggu rantai pasok dan ekspor, serta penguatan dolar AS yang meningkatkan biaya impor komponen.
“Ketergantungan yang cukup besar pada komponen impor membuat industri ini sangat rentan terhadap gejolak global dan pelemahan rupiah. Belum lagi suku bunga tinggi yang membuat harga jual mobil baru semakin mahal, sehingga sales menurun dan berdampak langsung ke kapasitas produksi domestik,” kata Yannes.
Yannes juga menilai transisi menuju kendaraan listrik (EV) menambah tekanan baru bagi APM. Kebijakan pemerintah terkait insentif pajak untuk EV dan hybrid (HeV) dinilai berpotensi menggeser fokus produksi dari mobil berbahan bakar bensin atau ICE (internal combustion engine).
“Kebijakan fiskal agresif terkait transisi ke EV ini menciptakan dislokasi fundamental yang begitu dinamis, seperti perubahan tarif, opsen, insentif, yang menciptakan ketidakpastian bagi investor,” ujarnya.
Baca Juga: Penjualan Mobil Anjlok Efek Pelemahan Daya Beli Kelas Menengah
Menurut Yannes, masalah struktural lain yang dihadapi APM adalah ketergantungan besar terhadap pasar domestik yang membatasi daya saing ekspor, apalagi di tengah persaingan ketat dengan produk dari negara ASEAN dan China.
Untuk mengatasi situasi ini, Yannes menilai APM perlu segera mengadopsi strategi adaptif agar tetap bertahan. “APM harus memperkuat inovasi teknologi dan digitalisasi operasional untuk meningkatkan efisiensi. Selain itu, demi tetap berproduksi dan menekan jumlah PHK, mereka perlu melobi para importir dan penyuplai komponen agar tidak menaikkan harga,” ujarnya.
Di sisi lain, Yannes menyarankan agar APM bersama dealer terus menggelar promosi agresif, seperti diskon, tukar tambah, atau program cicilan ringan, terutama menjelang akhir tahun.
“Gabungan APM juga perlu bersama-sama dengan pemerintah menghasilkan kebijakan yang stabil terkait mitigasi migrasi ke ekosistem EV, tanpa mematikan industri ICE yang sedang lesu saat ini,” tutup Yannes.
Gaikindo mencatat, sepanjang Juni 2025 produksi mobil nasional mencapai 92.525 unit, turun 3,3% secara tahunan. Tekanan di sisi produksi ini diiringi penurunan penjualan di hampir semua kategori kendaraan, dengan hanya segmen mobil double gardan (4WD) yang masih mencatatkan pertumbuhan.
Baca Juga: APM Pangkas Produksi Mobil, Gaikindo Akui Daya Beli Lemah Tekan Pasar
Selanjutnya: Prudential dan Bali International Hospital Jalin Kerja Sama
Menarik Dibaca: Hansaplast Luncurkan Plester Super Tipis untuk Percepat Penyembuhan Luka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News