Reporter: Francisca Bertha Vistika | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kelangkaan pasokan bahan bakar gas memukul industri sarung tangan karet. Banyak industri sarung tangan karet dikabarkan tidak mampu berproduksi lagi.
Ahmad Saifun, Ketua Indonesian Rubber Glove Manufacturer Association (IRGMA) bercerita, beberapa tahun yang lalu, masih ada sebanyak 12 perusahaan yang memproduksi sarung tangan karet. Namun, belakangan ini jumlahnya berkurang, yakni tinggal lima perusahaan saja. "Yang tersisa kini, empat di Sumatera Utara dan satu perusahaan di Jawa," kata Ahmad kepada KONTAN, Selasa (25/11).
Ahmad pesimistis lima perusahaan yang tersisa ini bisa bertahan lama. Apalagi, harga gas yang dibutuhkan industri karet juga akan naik harga. "Harga gas akan naik menjadi US$ 17 million british thermal unit (MMBtu) dari harga saat ini US$ 9 MMBtu," jelas Ahmad.
Agar bisnis industri karet tetap langgeng, Ahmad berharap, pemerintah bisa menyediakan gas dengan harga murah. Jika harga gas terlalu mahal, pelaku industri sarung tangan karet kesulitan mendapatkan margin. Sementara, industri sarung tangan domestik juga harus bersaing dengan produk sarung tangan impor.
Selain masalah pasokan gas, industri sarung tangan karet memiliki keterbatasan ketersediaan bahan baku karet alam, terutama industri yang ada di Jawa. Ahmad bilang, industri sarung tangan karet di Jawa harus impor bahan baku karet karena pengadaan bahan baku karet alam dari Sumatera lebih mahal karena akibat biaya logistik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News