Reporter: Asih Kirana Wardani | Editor: Asih Kirana
Richard Charles Nicholas Brandson, seorang industrialis asal Britania Raya, pernah mengatakan bahwa aset paling berharga dalam sebuah organisasi adalah para manusianya. Dalam konteks perusahaan, tentu saja yang dimaksud adalah para karyawan. Namun demikian, Brandson, yang telah mendirikan 360 perusahaan di bawah Virgin Group, menambahkan, semua itu hanya berarti apabila para karyawan terlibat (engaged) atau berkomitmen penuh pada pekerjaan mereka.
Masalahnya, bukan perkara mudah untuk menciptakan keterlibatan karyawan alias employee engagement. Apalagi, di era digital ini, banyak perusahaan merasa kesulitan untuk mempertahankan para karyawannya yang berbakat. Sungguh sulit untuk mempertahankan karyawan berbakat agar tidak meloncat ke perusahaan tetangga yang terlihat memiliki rumput lebih hijau.
Bisa dibilang, saat ini ada tiga kelompok karyawan. Pertama, generasi Baby Boomer yang lahir awal 1940-an hingga awal 1960-an, lalu Gen X yang lahir awal 1960-an hingga awal 1980-an, serta Gen Y yang lahir awal 1980-an hingga awal 2000-an. Selain itu, generasi yang baru memasuki dunia kerja, yang biasa disebut Gen Z, yakni mereka yang lahir setelah tahun 2000.
Nah, tantangan yang terberat adalah mempertahankan karyawan dari Gen Y dan Gen Z alias generasi Milenial. Pasalnya, berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih mementingkan kemapanan, kebanyakan dari generasi ini lebih mementingkan penghargaan. Ditambah melek teknologi informasi yang memungkinkan mereka mencari informasi hanya dengan menjentikkan ujung jari mereka di atas gawai, mereka pun lebih gampang untuk berpindah pekerjaan dan merasa tak perlu berlama-lama bekerja di sebuah perusahaan.
Padahal, jumlah mereka saat ini mendominasi angkatan kerja. Di Indonesia, jumlah generasi Milenial ini mencapai sekitar 84 juta orang. Itu berarti, peranan mereka sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk mencapai pertumbuhan yang diinginkan. Tingkat keluar masuk karyawan yang tinggi tentu akan menghambat perusahaan untuk mencapai target-target yang diinginkan. “Jadi, human resources department (HRD) harus kreatif dalam membuat karyawan tetap tertarik bekerja di perusahaannya,” kata Lenny Aziz, Engagement Director NAVA+, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang layanan komunikasi pemasaran.
Layaknya media sosial
Mau tak mau, untuk mempertahankan karyawan yang didominasi dari generasi Milenial, perusahaan harus menyesuaikan dengan cara pandang generasi ini. Generasi Milenial ini memiliki karakteristik unik, yakni akrab dengan teknologi telekomunikasi canggih, dimotivasi oleh gaya hidup, dan sangat menggemari media sosial. Mereka juga lebih peduli dengan “nilai” mereka dalam sebuah pekerjaan. “Mereka ingin bekerja dan sekaligus bersenang-senang di saat bersamaan,” ujar Lenny.
Dus, menurut Lenny, saat ini perusahaan tidak bisa lagi menerapkan perlakuan yang sama bagi setiap karyawan. Misalnya, persentase kenaikan gaji tahunan yang sama bagi semua karyawan. Tentu, karyawan yang telah berbuat lebih banyak bagi perusahaan akan merasa diperlakukan tidak adil dan kecewa jika melihat rekannya yang bekerja biasa-biasa saja memperoleh persentase kenaikan gaji yang sama. Ini tentu bisa mendorong karyawan tersebut meloncat ke perusahaan lain.
Menyadari hal tersebut, NAVA+ membangun sebuah platform digital engagement yang diharapkan mampu membuat karyawan merasa lebih dihargai, mendorong mereka lebih terlibat dalam mewujudkan visi misi perusahaan, serta tidak gampang berpindah ke perusahaan lain yang menawarkan gaji lebih tinggi. NAVA+ menamai platform digital ini SKOR. Platform ini bisa diunduh di telepon pintar (smartphone), baik dengan sistem operasi iOS maupun Android. Pasalnya, menurut Lenny, bukan berarti perusahaan tidak mampu memberikan gaji setinggi perusahaan lain. Namun persoalannya lebih karena manajemen perusahaan tidak mempunyai alat ukur yang jelas untuk menilai kinerja para karyawannya. Ujungnya, mereka pun kesulitan memberikan apresiasi pada karyawannya yang sebenarnya berbakat dan memberikan sumbangan signifikan pada perusahaan.
Merasa platform ini cukup berhasil dalam meningkatkan employee engagement di perusahaannya, sejak Mei 2016, NAVA+ pun menawarkan platform ini ke perusahaan-perusahaan lain. Saat ini sudah ada beberapa perusahaan memakai platform ini, antara lain AXA General Insurance, Diageo, Linksindo, E-ways, dan Iris Worldwide Indonesia. “Dengan platform ini, HR bisa lebih fokus pada building strategy, bukan disibukkan dengan urusan administratif,” kata Lenny.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan lewat platform ini? Mirip dengan cara kerja media sosial, SKOR menjadi platform komunikasi antara manajemen dengan karyawan, juga antara sesama karyawan. “SKOR mempunyai fitur-fitur yang mendukung mereka lebih produktif, lebih rajin, lebih follow program-program perusahaan dan kultur perusahaan, karena ada interaksi,” jelas Lenny.
Ketika membuka Dashboard SKOR, pengguna akan mendapati sejumlah fitur, yakni Announcement, Activities & Events, Greetings, serta Appointment. Tiap individu pengguna bisa mengubah urutan fitur ini sesuai dengan prioritas pribadinya. Dan, lantaran memakai smartphone, pengguna bisa mengakses kapan pun, bahkan saat baru bangun dan masih di tempat tidur. Dus, cocok dengan kebiasaan generasi Milenial yang seolah tidak bisa dipisahkan dari gawai. Dengan demikian, tiap karyawan dapat mengikuti apa yang sedang terjadi di perusahaannya.
Memang, banyak perusahaan juga telah memiliki sistem intranet sendiri untuk komunikasi di dalam perusahaan. Namun, realitanya, banyak karyawan tidak atau jarang mengakses sistem ini, sehingga kerap ketinggalan informasi seputar program perusahaan. “Waktu kita 70% dihabiskan di kantor, tapi kita sering ignorance banget dengan apa yang terjadi di perusahaan kita,” kata Lenny.
Nah, dengan platform SKOR yang gampang diakses kapan saja dan di mana saja serta memakai sistem push notification, karyawan tidak akan lagi ketinggalan informasi perusahaan. Namun, platform ini juga tidak menghilangkan fungsi sistem intranet, melainkan melengkapinya. Misalnya, untuk pengumuman dari manajemen yang panjang, ditaruh versi ringkasnya saja di SKOR. Selengkapnya, karyawan bisa mengklik tautan atawa link yang ada di sana, yang mengarahkan pada sistem intranet perusahaan.
Menonjolkan reward
Yang menarik, lewat platform SKOR, perusahaan bisa langsung memberikan reward atau penghargaan kepada karyawan. Penghargaan ini berupa points reward.
Ambil contoh, di poin Activities & Events, ada program jalan kaki. Di sini, perusahaan bisa mengatur, untuk setiap berapa langkah yang dilakukan, misalnya 500 langkah, seorang karyawan akan mendapatkan satu point reward. Tiap point reward ini dihargai setara dengan, katakanlah, Rp 50. Program ini menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kesehatan karyawan. Sebab, sejatinya, karyawan yang sehat bisa lebih produktif dalam bekerja. Selanjutnya, perusahaan pun bisa berhemat dalam hal premi asuransi kesehatan bagi karyawan. “Kita memang ingin ada human touch dalam platform ini,” tutur Lenny.
Perusahaan juga bisa leluasa memasukkan program-program lainnya. Sebab, platform ini sangat memungkinkan modifikasi (customized). Misalnya, perusahaan bisa memasukkan acara pelatihan dan berapa poin yang diberikan bagi karyawan yang melakukan check in dan klik attend pada acara tersebut. Perusahaan juga bisa mengatur poin bagi karyawan yang mampu mencapai target atau bonus tambahan poin bagi yang berhasil melewati target tersebut.
Platform SKOR juga bisa dimanfaatkan untuk mengkampanyekan kultur perusahaan. Misalnya, perusahaan ingin memberantas budaya jam karet. Nah, HRD bisa menentukan berapa point reward bagi mereka yang datang tepat waktu.
Nah, setelah terkumpul, karyawan bisa mencairkan atau membelanjakan points reward tersebut sesuai dengan pilihannya. Ada beberapa kriteria pilihan, yakni Health & Fitness, Lifestyle & Recreation, serta Essential & More.
Tak cuma itu. SKOR juga memberikan nilai lebih bagi para penggunanya. Sebab, selain points reward, SKOR juga menawarkan discount reward, yakni penghargaan berupa program diskon di sejumlah merchant. Kebanyakan tempat makan. “Saat ini, untuk points reward, kami telah bekerjasama dengan sekitar 80 merchants. Adapun, untuk program diskon, ada sekitar 100 merchants di Jakarta, Bali, Yogya, dan Solo,” kata Lenny.
Merchant yang menjadi mitra pun tak perlu membayar apa pun. Bahkan, mereka mendapatkan Merchant Dashboard, sehingga bisa memantau transaksi yang terjadi lewat SKOR.
Bagi perusahaan, keberadaan points reward tersebut bisa menjadi alat ukur untuk menentukan kenaikan gaji atau pun bonus bagi masing-masing karyawan. Jadi, tidak ada lagi perlakuan yang sama rata bagi mereka yang berbeda kinerjanya. Mereka yang lebih, tentu akan mendapatkan lebih pula.
Direktur Human Resources Iris Worldwide Indonesia Sandy Nugraha mengakui manfaat SKOR bagi perusahaannya. Dengan SKOR, perusahaannya bisa lebih mendorong engagement karyawan yang kebanyakan dari Gen Y yang sangat aktif menggunakan gawai. Selain itu, perusahaan juga bisa mendorong karyawan memiliki gaya hidup yang lebih seimbang. “Dengan reward, bisa mendorong atau memotivasi mereka untuk memberikan lebih bagi perusahaan,” kata dia.
Aktivitas komunikasi untuk program perusahaan pun bisa berjalan lebih efektif. Sandy juga merasa SKOR meningkatkan produktivitas karyawannya. “Jadi, SKOR sangat membantu kami,” ungkap dia.
Berdasarkan survei beberapa bulan lalu, indeks employee engagement di Iris meningkat menjadi 65%. “Sebelumnya di bawah 60%,” imbuh Sandy.
Generasi Milenial
Secara definisi, employee engangement merupakan komitmen emosional yang dimiliki karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja berikut tujuan-tujuan organisasinya. Itu berarti, karyawan benar-benar peduli terhadap pekerjaannya dan perusahaannya. Tidak melulu bekerja demi gaji atau pun promosi selanjutnya. “Sifatnya beyond transactional, bukan karena dibayar perusahaan, tapi karena saya cinta,” ujar Ekuslie Goestiandi, seorang pengamat manajemen dan kepemimpinan.
Itu berarti, employee engagement tidak mesti berarti karyawan merasa bahagia dalam bekerja. Tidak selalu berarti juga bahwa karyawan merasa puas dalam bekerja. Yang jelas, employee engagement ini pada ujungnya akan meningkatkan layanan yang lebih baik, tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, penjualan dan laba yang meningkat, dan otomatis juga memberikan keuntungan yang lebih tinggi kepada pemegang saham.
Dus, untuk menilai apakah platform digital seperti SKOR akan mampu meningkatkan employee engagement, perlu sebuah studi yang lebih serius. Pasalnya, lewat platform ini, perusahaan memberikan berbagai reward dan insentif yang notabene sesuatu yang bersifat transaksional. Nah, jika reward dan insentif ini ditiadakan, menurut Ekuslie, belum tentu seorang karyawan tetap peduli dengan perusahaan dan bekerja dengan baik demi tercapainya tujuan perusahaan. “Tapi, apakah platform ini membuat bekerja lebih fun? Saya bilang, iya!” imbuh dia.
Ekuslie menambahkan, platform seperti ini cocok bagi karyawan yang berasal dari generasi Y yang memang cenderung digital freak dan menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan gawai dan teknologi informasi. Nah, mengingat generasi Y saat ini mencapai sekitar 70% dari angkatan kerja di Indonesia, adalah sebuah keniscayaan platform engagement digital seperti SKOR akan menjadi sebuah tren. “Mereka akan jadi penentu tren,” imbuh Ekuslie.
Dus, tidak ada salahnya apabila manajemen perusahaan mulai mengantisipasi tren tersebut. Yang jadi persoalan, meski generasi Y mendominasi angkatan kerja, masih sedikit dari mereka yang berada di posisi pembuat kebijakan perusahaan. Jabatan manajemen saat ini masih lebih banyak dipegang oleh generasi yang lebih tua. “Masalahnya berada di perusahaan masing-masing dan manajemen HRD, apakah mereka sudah siap untuk menggunakan teknologi yang merupakan keniscayaan ini?” tutur Ekuslie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News