Reporter: Kenia Intan | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada 29 Agustus 2019, BPH Migas mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 3865.E/Ka.BPH/2019 tentang pengendalian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu tahun 2019, khususnya terkait pemanfaatan solar subsidi untuk truk.
SE tersebut mencakup dua aspek, yakni: pembatasan pembelian dan pelarangan pembelian. Pembatasan diberlakukan untuk kategori truk angkutan barang roda enam ke bawah.
Sementara itu, pelarangan diberlakukan untuk angkutan barang yang gunakan truk lebih dari enam roda khususnya truk trailer pengangkut komoditas ekspor impor.
Baca Juga: Kementerian ESDM tolak berikan kuota impor solar tambahan karena alasan ini
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi, melihat SE ini menimbulkan kebingungan.
Sebabnya, SE bertentangan dengan Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi Perpres No 43 Tahun 2018 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak pada jenis bahan bakar minyak tertentu.
Mengacu pada aturan tersebut, solar termasuk dalam bahan bakar yang mendapatkan program subsidi khusus.
“Menurut Perpres tersebut, angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam termasuk dalam golongan yang mendapatkan alokasi BBM Solar bersubsidi,” kata Rico Rustombi dalam keterangan pers yang diterima Kontan.co.id, Jumat (20/9).
Baca Juga: Pasokan Solar Melimpah, Pemerintah Tahan Impor
Lebih lanjut ia menjelaskan, penerapan aturan tersebut akan berdampak signifikan terhadap operasional angkutan truk secara umum, termasuk yang tergolong angkutan berat.
Padahal, jenis angkutan berat lebih banyak dimanfaatkan untuk pengangkutan bahan baku proyek infrastruktur maupun barang-barang ekspor-impor.
Akibatnya tidak hanya pada transportasi barang atau alur logistik, tetapi juga program konstruksi infrastruktur hingga upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor nasional. Penerapan aturan bisa berdampak pada perekonomian nasional.
"Karena itu, aturan ini belum layak diterapkan karena tidak sejalan dengan amanah perpres yang masih berlaku,” tambah Rico.
Adapun Kadin Bidang Logistrik dan Pengelolaan Rantai Pasokan mengusulkan beberapa pilihan mengatasi persoalan ini. Pertama, dibuat sistem pengawasan melekat dalam pendistribusian BBM bersubsidi kepada konsumen di setiap stasiun pengisian Bahan bakar (SPBU) agar tepat sasaran serta tepat guna.
Baca Juga: Banggar sepakati asumsi ICP turun jadi US$ 63 dalam APBN 2020
Langkah ini dapat menjamin pasokan Bahan bakar solar bersubsidi terhadap operator angkutan umum untuk barang di seluruh wilayah Indonesia sekaligus mencegah terjadinya kelebihan alokasi kuota BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
Kedua, menghapus program solar bersubsidi kepada angkutan barang. Pemerintah bisa menggantinya dengan insentif fiskal atau fasilitas kredit bagi operator angkutan darat.
Usulan ini muncul mengingat kondisi truk yang beroperasi saat ini tergolong sudah tua. Insentif fiskal dimanfaatkan untuk mendukung peremajaan armada truk yang beroperasi saat ini.
Insentif dapat berupa pemotongan bea masuk terhadap impor truk-truk modern yang hemat bahan bakar. Dengan demikian, harga truk-truk tersebut menjadi lebih terjangkau bagi pengusaha lokal. Sementara untuk realokasi subsidi BBM bisa dalam bentuk fasilitas kredit murah untuk pengadaan truk baru dengan teknologi yang hemat BBM atau sumber energi baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News