Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keberlanjutan program gas murah alias Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) di tahun 2025 menimbulkan dilema antara insentif industri dan beban ekonomi yang harus dipikul oleh stakeholder lain, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), hingga Kementerian Keuangan.
Program harga gas murah untuk industri ini bakal berakhir pada tahun 2024. Nah, saat ini, ada tujuh sektor industri yang menerima program HGBT. Masing-masing adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Ke tujuh sektor industri itu mendapatkan harga gas sebesar US$ 6 per million british thermal unit (MMBTU). Hal itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, sinyal keberlanjutan program HGBT pada tahun depan. Ia mengungkapkan, program HGBT saat ini masih dalam evaluasi dan dalam pembahasan antara kesediaan dan kebutuhan industri.
"Seharusnya memberikan kepastian kepada pelaku usahanya (HGBT) itu seharusnya berlanjut," kata Yuliot di Kementerian ESDM, Jumat (13/12).
Baca Juga: Realisasi Penyaluran Gas Murah Capai 87,2 Juta MMBTU per Triwulan III-2024
Yuliot menambahkan, untuk sektor industri yang menerima HGBT masih dalam evaluasi dan akan dilaporkan ke Presiden Prabowo Subianto terlebih dahulu.
"Pak Menteri ESDM akan melakukan pembahasan dan juga lapor ke Presiden," sambungnya.
Sementara itu, Plt Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan, telah menerima tambahan 15 sub sektor industri baru sebagai penerima HGBT di tahun 2025 berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
"Sekarang kita sudah nerima usulan tambahan 15 sub sektor (industri) dari Perindustrian," kata Dadan dalam paparannya di acara Anugerah DEN 2024, beberapa waktu lalu.
Ia juga menekankan harga HGBT untuk tahun depan tidak akan berbeda jauh dengan HGBT tahun 2024 yang berkisar US$ 6 per MMBTU.
"Beberapa akan kita tahan sama, yang pasti kalau haknya untuk Kontrak Kerja Sama (KKS) kan kita jaga pasti (harganya)," ungkapnya.
Terkait pasokan gas, Dadan bilang 15 sektor industri tambahan ini berasal dari industri yang awalnya memang sudah menjadi pelanggan gas, sehingga pasokan tidak perlu dikhawatirkan.
"Kalau HGBT itu awalnya kan sudah menjadi pelanggan gas. Kalau ditanya ada gasnya, kan dia sudah jadi pelanggan jadi gasnya sudah pasti ada, tinggal disesuaikan dengan keekonomian saja," katanya.
Dihubungi Kontan, Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Fajriyah Usman mengaku akan menunggu arahan dari pemerintah terkait keberlanjutan program HGBT.
"PGN sebagai salah satu pelaksana program HGBT akan menunggu arahan Pemerintah," kata Fajriyah kepada Kontan, Minggu (15/12).
Baca Juga: PGN Siap Serap Pasokan Gas dari Lapangan Blok Masela hingga Tangguh
Di sisi lain, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan menekankan pentingnya kebijakan HGBT yang lebih progresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2027.
Menurut Yustinus, semakin banyak sub-sektor industri yang berkembang, semakin kuat pula sektor manufaktur sebagai pondasi dan penggerak utama ekonomi.
"Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, diperlukan kontribusi manufaktur minimal 30% terhadap PDB selama dua dekade ke depan, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara maju," kata Yustinus kepada Kontan, Minggu (15/12).
Yustinus menyebut, pemenuhan total kebutuhan gas untuk sektor manufaktur sangat penting agar tingkat utilitas industri dapat mencapai kapasitas maksimal.
Saat ini, utilisasi masih rendah karena volume HGBT seringkali lebih kecil dari kemampuan produksi gas domestik. Namun, kebijakan HGBT yang sudah berjalan berhasil meningkatkan realisasi investasi.
“Contohnya, karena adanya HGBT, Korea Selatan berinvestasi membangun pabrik kaca lembaran di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, yang kini sudah mulai produksi dan mengekspor sejak November 2024. Hal serupa juga terjadi pada investasi Xinyi dari Tiongkok di Gresik," ungkapnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan, meski Kementerian Perindustrian terus mendorong implementasi kebijakan ini demi mendukung daya saing industri, namun langkah tersebut bisa berdampak negatif terhadap sektor energi, khususnya dalam menjaga keekonomian proyek gas bumi.
Komaidi menilai, dorongan Kementerian Perindustrian untuk melanjutkan HGBT merupakan upaya mempertahankan kinerja sektor industri, sesuai indikator yang menjadi tanggung jawab mereka.
“Kalau di sisi industri, tentu semakin murah semakin baik,” kata Komaidi kepada Kontan, Minggu (15/12).
Baca Juga: PGN Siap Serap Pasokan Gas dari Lapangan Blok Masela hingga Tangguh
Namun, lanjut Komaidi, pandangan ini tidak sejalan dengan stakeholder lain di sektor energi, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) gas, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), hingga Kementerian Keuangan.
Menurut Komaidi, menekan harga gas hingga level tertentu, seperti di bawah keekonomian proyek, dapat menyebabkan tekanan yang signifikan, baik terhadap produsen gas maupun penerimaan negara.
“Di beberapa wilayah, harga di kepala sumur saja sudah mencapai US$ 7– US$ 8 per MMBtu. Menekan hingga harga US$ 6 jelas berat,” ujar Komaidi.
Komaidi menegaskan beban yang ditimbulkan tidak hanya pada margin perusahaan seperti PGN, tetapi juga pada potensi berkurangnya investasi karena persepsi risiko dari pelaku usaha hulu.
Lebih lanjut, program HGBT selama ini belum sepenuhnya terbukti mendorong penurunan harga jual produk industri ke konsumen.
“Harga gas hanya salah satu dari 15 komponen yang menentukan daya saing industri. Tekanan pada satu faktor saja tidak cukup,” ungkap Komaidi.
Komaidi menyarankan agar pemerintah melihat kebijakan insentif secara lebih komprehensif, termasuk melalui instrumen seperti insentif pajak, kemudahan perizinan, atau dukungan lain yang lebih efisien daripada harga gas murah.
Komaidi juga menekankan pentingnya mengevaluasi pendekatan multi-instrumen. Pemerintah seharusnya mengkaji apakah menekan harga gas adalah pilihan yang paling tepat, atau justru ada pendekatan lain yang lebih optimal dalam mendukung daya saing industri.
Keberlanjutan HGBT juga berpotensi menjadi beban signifikan bagi PT Perusahaan Gas Negara (PGN), terutama dalam hal margin usaha.
Baca Juga: PGN Gandeng BGN Kerjasama Penyediaan Pasokan Gas Bumi
Menurut Komaidi, tekanan ini dapat menggerus keuntungan bahkan menyebabkan potensi kerugian jika HGBT terus diberlakukan tanpa mempertimbangkan rasionalisasi harga. Selain itu, dampaknya meluas hingga pada pengurangan penerimaan negara dari sisi pajak dan bagi hasil migas (DBH).
“Keberlanjutan HGBT memerlukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan semua elemen penentu daya saing. Jangan hanya fokus pada satu aspek tanpa memperhatikan dampak luasnya,” tutup Komaidi.
Sebagai gambaran, Kementerian ESDM melaporkan, realisasi volume Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) atau gas murah untuk industri sampai dengan kuartal III-2024 untuk sektor industri sebesar 87,2 juta MMBTU atau 80% dari alokasi sebesar 109,503 juta MMBTU.
"Sedangkan untuk sektor kelistrikan realisasinya sebesar sebesar 60,1 juta MMBTU atau 57% dari total alokasi sebesar 105,342 juta MMBTU," kata Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung dalam agenda Hilir Migas Conference, Expo, & Awards 2024 di Jakarta, Jumat malam (13/12).
Yuliot menyampaikan, realisasi volume pengangkutan gas bumi melalui pipa sampai dengan kuartal III-2024 sebesar 921,2 juta MSCF dan volume niaga gas bumi melalui pipa sebesar 277,8 juta MSCF.
Adapun, Badan usaha yang berkontribusi dalam pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa sebanyak 31 Badan Usaha, yang terdiri dari 11 Badan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa, 13 Badan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa, dan 7 Badan Usaha Pengangkutan Dan Niaga Gas Bumi Melalui Pipa.
Selanjutnya: Inilah Waktu Terbaik Beli Mobil Bebas PPN 12%!
Menarik Dibaca: Daerah Ini Alami Hujan Petir, Simak Prakiraan Cuaca Besok (16/12) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News