kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kelembagaan hulu migas jadi sorotan, Komisi VII DPR: Akan dibahas di revisi UU Migas


Senin, 12 Oktober 2020 / 18:04 WIB
Kelembagaan hulu migas jadi sorotan, Komisi VII DPR: Akan dibahas di revisi UU Migas
ILUSTRASI. Perusahaan hulu migas


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law turut mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Sayangnya, ada isu krusial yang tak dibahas dalam omnibus law klaster tersebut, yakni terkait dengan kelembagaan di sektor hulu migas.

Semula, draft omnibus law menghapus keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), dan mengubahnya menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus.

Namun belakangan, BUMN Khusus di hulu migas itu pun tidak tercantum dalam omnibus law. Padahal, kepastian mengenai kelembagaan di hulu migas itu dinilai penting dan sangat mendesak.

Baca Juga: Tak Hanya Buruh, Omnibus Law Cipta Kerja Ikut Memicu Polemik di Industri Migas

Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) pun menyoroti hal tersebut. Ketua Umum Aspermigas John S. Karamoy menekankan, kelembagaan sektor hulu migas harus diperjelas dengan payung hukum yang lebih tegas. Menurutnya, fungsi dari lembaga tersebut juga mesti diperjelas, karena hal tersebut penting bagi iklim investasi hulu migas di Indonesia.

Saat ini, status SKK Migas hanya berada di bawah Peraturan Presiden (Perpres). "Sebaiknya status hukum SKK Migas yang hingga saat ini masih di bawah payung hukum Perpres diperjelas statusnya, beserta dengan fungsinya sebagai regulator agar jelas dan friendly di mata investor," kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (12/10).

Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Abdul Wahid menyampaikan bahwa secara umum, omnibus law memang tidak banyak mengubah pengaturan terkait migas. Perubahan yang ditekankan ialah terkait berizinan berusaha.

Sedangkan isu isu krusial lainnya akan dibahas dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi alias UU Migas. "Secara umum soal migas tidak banyak berubah, kecuali soal perizinan berusaha. yang lain sesuai eksisting," kata Abdul saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (9/10).

Padahal, menurut pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, adanya perubahan rezim dari kontrak kerja sama ke perizinan berusaha di omnibus law, sesungguhnya semakin menunjukkan betapa pentingnya kejelasan lembaga yang mengatur di hulu migas.

Baca Juga: Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu

Masalahnya, meski mengatur perubahan dari rezim kontrak diubah ke perizinan, dalam Omnibus Law ini belum diatur secara jelas mengenai skema perizinan maupun pihak yang memberikan izin.

Alhasil, adanya perubahan rezim kontrak menjadi perizinan, tanpa adanya kelembagaan yang pasti, menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian. "Kelembagaan itu ada hubungannya dengan perizinan. Kalau itu dikeluarkan, arah perubahan (dari kontrak ke perizinan berusaha) menjadi tidak bisa ditebak, rancu, tidak utuh dan akhirnya tidak pasti," jelas Pri.

Menurut dia, Omnibus Law klaster migas ini tidak memberikan pengaturan yang prinsipil, sehingga sebagian besar isu-isu krusial seperti kelembagaan hulu masih harus menunggu revisi UU migas yang entah kapan akan dibahas dan disahkan.

"Ini menimbulkan ketidakpastian bagi sektor migas. Karena sebagian besar masih akan dibahas melalui revisi UU Migas yang prosesnya kita nggak tahu kapan," ungkap Pri.

Sebagai informasi, pada November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan hulu migas alias BP Migas. Lalu, untuk menggantikan BP Migas, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Dalam beleid tersebut, penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh SKK Migas. Hanya saja, hal itu bersifat sementara, hingga diterbitkannya UU Migas yang baru, menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2001.

Dibahas Setelah Finalisasi UU EBT

Terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno memastikan bahwa kelembagaan di hulu migas akan dibahas dan diputuskan dalam revisi UU Migas. Eddy menyadari, kelembagaan hulu migas memang sangat penting, oleh sebab itu akan dibentuk secara permanen dengan payung hukum undang-undang.

Hanya saja, untuk bentuk kelembagaannya apakah nanti akan berbentuk BUMN Khusus atau tidak, hal itu masih akan dibahas bersama pemerintah.

"Itu nanti akan dibahas di revisi UU Migas, karena memang kita ingin agar UU Migas itu mencakup beberapa hal yang sifatnya lebih instrumental. SKK migas itu lembaga ad hoc, ingin kita permanenkan, tetapi bentuk lembaga permanen itu seperti apa, ini yang nanti kita akan bahas," terang Eddy pada Kontan.co.id, Senin (12/10)

Eddy menegaskan, pemerintah pun sudah diminta untuk segera mengajukan rancangan revisi UU Migas. Menurutnya, revisi UU Migas memang sangat urgent. Selain karena ada sejumlah pasal yang sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, Eddy menyebut revisi UU Migas mendesak karena dua alasan.

Baca Juga: Kejar target produksi 2021, SKK Migas dorong percepatan pengadaan barang dan jasa

Pertama, adanya tren penurunan produksi siap jual (lifting) migas, di saat kebutuhan untuk menggenjotnya. Kedua, iklim investasi migas yang mesti diperbaiki agar lebih menarik investor. Apalagi, sejumlah investor tercatat akan meninggalkan proyek-proyek besar, seperti Chevron di proyek IDD dan Shell di proyek Masela.

"Kami ingin membuat revisi aturan yang bisa mengakselerasi investasi di Indonesia, agar iklim investasi migas lebih menarik. Juga agar UU Migas ini bisa bertahan lama, jadi kemudian tidak dibatalkan lagi digugatan," imbuh Eddy.

Namun, revisi UU migas ini pun masih harus menunggu antrean. Sebab, Eddy menyebut bahwa saat ini Komisi VII DPR RI sedang fokus menyusun Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (UU EBT). Oleh sebab itu, revisi UU migas kemungkinan baru bisa terlaksana setelah penyusunan UU EBT rampung.

"Revisi UU migas itu baru kami fokuskan setelah UU EBT sudah kami finalisasi," pungkas Eddy.

Selanjutnya: Kontrak hulu migas diubah jadi perizinan berusaha, ini tanggapan Komisi VII DPR

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×