kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kembangkan PLTA, Asosiasi PLTA minta Kementerian ESDM libatkan Kementerian BUMN


Rabu, 06 Januari 2021 / 17:48 WIB
Kembangkan PLTA, Asosiasi PLTA minta Kementerian ESDM libatkan Kementerian BUMN
ILUSTRASI. Asosiasi Kementerian ESDM sebaiknya melibatkan Kementerian BUMN dalam pengembangan PLTA.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mengkritisi langkah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Perusahaan Listrik Negara dalam upaya pengembangan potensi PLTA.

Ketua APLTA Riza Husni mengungkapkan, Kementerian ESDM sebaiknya melibatkan Kementerian BUMN dalam pembuatan regulasi demi memperjelas arah pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

"Tanpa keterlibatan Menteri BUMN, program yang dicanangkan ESDM makin jauh dari harapan,"ujar Riza kepada Kontan.co.id (Selasa (5/1).

Riza mengatakan, perlunya keterlibatan Kementerian BUMN demi memastikan PLN terlibat aktif dalam pengembangan EBT khususnya PLTA.

Baca Juga: Kembangkan energi panas bumi, anak usaha PLN gandeng anak usaha Pertamina

Menurut Riza, jika nantinya Perpres Harga Listrik EBT terbit, berpotensi tidak optimal pelaksanaannya pasalnya PLN tidak berkenan menjalankan penugasan.

Riza melanjutkan, skema kompensasi yang ditawarkan oleh pemerintah tergolong tidak menarik bagi PLN. Adapun, skema kompensasi yang dimaksud yakni kompensasi akan diberikan pemerintah kepada PLN jika ada gap selisih harga EBT dengan biaya pokok penyediaan (BPP).

"Buat PLN itu tidak menarik, kompensasi berdasar BPP itu sia-sia, tidak efektif,"jelas Riza.

Skema kompensasi yang ditawarkan sebaiknya kompensasi diberikan jika harga EBT lebih tinggi dari harga energi fosil, dan ini akan lebih menarik.

Ia mencontohkan, di Sumatera Utara harga energi hidro di bawah Rp 1.000 sementara BPP mencapai Rp1.500. PLN menjual dengan tarif dasar listrik (TDL) Rp.1.400.

Riza menjelaskan kondisi ini membuat PLN lebih memilih membangun pembangkit energi fosil ketimbang EBT khususnya PLTA.

Ia melanjutkan, dari pemetaan yang dilakukan bersama Kementerian ESDM, ada potensi total mencapai 14 GW PLTA yang bisa dikembangkan dan akan terserap produksi listriknya. Kendati demikian hingga saat ini tercatat pemanfaatannya baru mencapai di bawah 400 MW.

Baca Juga: PLN dapat pendanaan US$ 500 juta dari Bank Dunia untuk kembangkan EBT

Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan, pihaknya mengundang 179 pengembang untuk membahas kendala pengembangan PLTA yang potensinya mencapai 6,6 GW.

Dadan menyebutkan, ada sejumlah kendala yang dipetakan pemerintah antara lain kemampuan pendanaan yang terbatas dari pengembang dan PLN, harga jual tenaga listrik yang tidak sesuai, masalah perizinan hingga mekanisme pengadaan di PLN yang memakan waktu.

"Dampak pandemi covid-19 yang hambat personel dan peralatan, dan sistem setempat tidak bisa menyerap," kata Dadan, Rabu (6/1).

Dadan melanjutkan, sejauh ini salah satu upaya yang mungkin diatasi yakni terkait harga listrik. Dengan kehadiran Perpres Harga Listrik EBT maka akan ada kepastian bagi pelaku usaha.

"Perpres EBT akan berikan kepastian kepada pengembang dan PLN untuk menyepakati harganya," ujar Dadan.

Sementara itu, Riza menyatakan, sejauh ini asosiasi melihat belum ada keberpihakan pada pengembangan EBT. Ia meminta agar Kementerian ESDM realistis dan melibatkan Kementerian BUMN dalam penyusunan regulasi bersama.

Pasalnya, hal-hal teknis terkait BUMN masih dimungkinkan diatur oleh Kementerian ESDM. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip keuangan bagi perusahaan BUMN tentunya masih merujuk pada Kementerian BUMN.

"Setidaknya regulasi dilahirkan konsepnya dari Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM baru itu akan bisa diaplikasikan," imbuh Riza.

Selanjutnya: Kadin surati Jokowi terkait Perpres harga listrik EBT, begini usulannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×