kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   0,00   0,00%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Kementerian ESDM finalisasi insentif untuk hilirisasi batubara


Kamis, 18 November 2021 / 18:29 WIB
Kementerian ESDM finalisasi insentif untuk hilirisasi batubara
ILUSTRASI. Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Rabu (1/9/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, langkah transisi energi dan mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu dilakukan secara bijak.

Menurutnya, jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maka ketergantungan pada energi fosil masih berlangsung hingga 2050 mendatang.

Komaidi melanjutkan, kebutuhan batubara dalam negeri mencapai sekitar 150 juta ton dimana mayoritas menyuplai kebutuhan sektor listrik. Peralihan menuju EBT berpotensi memberi dampak pada aspek fiskal.

"Produksi (batubara) sempat menyentuh kisaran 600 juta ton artinya ada 450 juta yang kita ekspor. Konteks ini yang perlu kita hati-hati karena ada devisa, pajak dan tenaga kerja. Ada beberapa aspek yang mungkin hilang kalau kita move ke EBT," jelas Komaidi.

Komaidi menilai, kehadiran proyek-proyek hilirisasi batubara pun belum tentu dapat menyerap seluruh produksi batubara dalam negeri.

Komaidi melanjutkan, upaya transisi energi perlu dipikirkan secara bijak. Selain resiko fiskal, pemerintah perlu berkaca pada krisis energi yang terjadi di sejumlah negara Eropa beberapa waktu lalu.

Dari kejadian tersebut, tercermin betapa masih bergantungnya sejumlah negara pada energi fosil yang lebih bisa diandalkan ketimbang EBT.

Selain itu, langkah pemerintah mempercepat rencana pensiun PLTU juga perlu mempertimbangkan banyak hal khususnya pendanaan yang besar. "Untuk satu tahun, kebutuhan untuk bailout 1 GW pembangkit butuh dana sekitar Rp 5 triliun. Dampaknya bukan hanya ke ekonomi, tapi ke fiskal, APBN," pungkas Komaidi.

Selanjutnya: Kembangkan baterai kendaraan listrik, IBC harap bisa bentuk joint venture tahun depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×