Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera memberikan insentif untuk mendorong realisasi program hilirisasi batubara dalam bentuk gasifikasi, khususnya untuk produk dimethylether (DME).
Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung menyatakan, saat ini insentif tersebut tengah dibahas bersama stakeholders terkait, termasuk pelaku usaha batubara dan industri. Wafid bilang, ada sejumlah opsi insentif yang disiapkan, namun pilihan mengerucut pada pemotongan royalti.
Baca Juga: Delta Dunia (DOID) masih bahas perpanjangan kontrak dengan Kideco dan Berau Coal
"Ada beberapa usulan insentif agar proyek gasifikasi yang sedang akan dijalankan dapat feaseable. Usulan-usulan tersebut dikaji, salah satunya royalti," kata Wafid kepada Kontan.co.id, Selasa (14/1).
Wafid menargetkan, pembahasan mengenai insentif gasifikasi batubara ini akan rampung di semester pertama tahun ini. Namun, Wafid belum menyebutkan detail skema insentif yang akan diimplementasikan, serta bentuk regulasi dari insentif tersebut.
"Belum sampai ke arah sana (skema dan regulasi), semoga bisa selesai di awal semester ini," ungkap Wafid.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pemberian insentif bagi program DME menjadi salah satu program prioritas dari Kementerian ESDM. Arifin menekankan, insentif akan diberikan dari hulu atau dari produksi batubara yang akan menjadi bahan baku.
Baca Juga: Indika (INDY) siapkan dana US$ 10.000 per hektare untuk rehabilitasi lingkungan
Sehingga, produk DME sebagai hilirisasi dari batubara bisa lebih ekonomis. Menurut Arifin, insentif yang memungkinkan untuk diberikan ialah dari sisi perpajakan atau pengurangan royalti.
"Dari hulunya (insentif), kita bisa bikin kebijakan bahan baku lebih murah, sehingga (produk) di bawahnya bisa laku," kata Arifin, akhir pekan lalu.
Dihubungi terpisah, Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan, hilirisasi batubara sejatinya sudah diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba, beserta regulasi turunannya.
Namun, Irwandy menyebut bahwa hilirisasi, khususnya dalam bentuk gasifikasi menjadi sulit terealisasi bukan karena masalah teknologi. Melainkan terkendala keekonomian dari sisi proyek dan produk.
Sehingga, Irwandy menilai pemberian insentif untuk program ini sangat urgent. Antara lain melalui pengurangan royalti dan keringanan pajak.
"(Gasifikasi batubara belum terealiasi) Penyebabnya masalah keekonomian, karena secara teknis sudah berhasil. Namun memasuki skala ekonomi masih belum layak," kata Irwandy.
Baca Juga: Batubara masuk tren bullish, tersulut sentimen kesepakatan dagang
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa program gasifikasi batubara dalam bentuk DME memerlukan investasi yang tinggi. Menurut Hendra, investasinya bisa lebih dari US$ 3 miliar.
Hendra bilang, insentif yang diperlukan untuk mendorong implementasi program DME ialah dalam bentuk fiskal dan non-fiskal. Hendra merinci, ada empat insentif fiskal yang bisa diberlakukan.
Pertama, tarif khusus royalti batubara dengan pengurangan, atau bahkan hingga 0% untuk gasifikasi di mulut tambang. Kedua, tax holiday untuk Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dalam proses gasifikasi batubara.
Ketiga, tax holiday untuk PPN di komponen Engineering Procurement Construction (EPC), dan terakhir, tax holiday untuk pajak penghasilan badan usaha selama umur proyek.
Sedangkan untuk non-fiskal, kata Hendra, insentif yang diperlukan ialah berupa kepastian masa berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mendukung umur proyek. Kedua, regulasi harga batubara yang khusus untuk hilirisasi mulut tambang selain untuk pembangkit listrik.
Baca Juga: Ini faktor pendorong harga batubara bullish dan proyeksinya
Ketiga, regulasi harga untuk produk DME yang mendukung kelayakan proyek gasifikasi tersebut. "Karena (proyek gasifikasi batubara) investasinya mahal, jadi menyangkut keekonomian. Secara jangka panjang juga perlu dukungan insentif dan kepastian hukum," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Selasa (14/1).
Seperti diketahui, proyek gasifikasi batubara dalam bentuk DME baru akan dijalankan oleh PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), yang antara lain akan berkongsi dengan PT Pertamina (Persero).
Saat dikonfirmasi, Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengatakan bahwa pihaknya memang memerlukan insentif untuk bisa membuat proyek dan produk DME ini bisa lebih ekonomis. Sayangnya, Arviyan enggan mengungkapkan jenis insentif apa yang diinginkan PTBA.
Baca Juga: PTBA siap konversi lahan bekas tambang menjadi PLTS dan ladang sawit
Yang jelas, sambung Arviyan, insentif yang bisa diberlakukan antara lain dalam bentuk keringanan pajak dan royalti. "Insentif penting dan perlu. Kita ikut yang diputuskan pemerintah," kata Arviyan.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga berharap supaya harga batubara kalori rendah sebagai bahan baku program DME bisa dihitung dengan formula yang berbeda. Sebab, kata Nicke, dalam proses gasifikasi ini batubara tidak digunakan sebagai komoditas, melainkan bahan baku energi.
"Kita lihat batubara yang low rank kalori, mungkin berbeda tidak menggunakan formula yang selama ini digunakan batubara sebagai komoditas, tapi sebagai bahan baku energi," ungkap Nicke.
Seperti diketahui, program DME ini ingin diakselerasi oleh pemerintah lantaran dinilai bisa menjadi substitusi Liquified Petroleum Gas (LPG). Saat ini, sekitar 70% kebutuhan LPG Indonesia masih diimpor. Alhasil, adanya DME ini diharapkan bisa menekan defisit neraca dagang atau current account defisit (CAD).
Arviyan Arifin mengatakan, saat ini PTBA dan Pertamina tengah melakukan penghitungan untuk harga produk DME. Arviyan menyebut, pihaknya ingin produk DME bisa memiliki harga yang kompetitif dengan LPG. "Lagi proses perhitungan, mesti kompetitif," kata Arviyan.
Baca Juga: Penurunan harga gas Industri menghemat 2,5%-7,5% pelaku industri petrokimia
Dalam catatan Kontan.co.id, saat ini konsorsium PTBA tengah fokus untuk mengerjakan proyek DME di Tanjung Enim. Feasibility Study (FS) telah rampung pada November 2019.
Setelah itu, prosesnya berlanjut pada tahap detail konsep desain atawa front end engineering design (FEED), lalu masuk pada tahap engineering procurement construction (EPC) yang ditargetkan rampung di akhir 2021.
"Proses pembangunannya sekitar tiga tahun. Selesai 2023, sehingga 2024 sudah beroperasi," ungkap Arviyan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News