Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kebijakan kenaikan tarif royalti untuk komoditas mineral dan batubara (minerba), termasuk nikel dan emas, akan mulai diberlakukan efektif pada minggu kedua April 2025. Kebijakan ini menuai respons kritis dari kalangan pelaku usaha pertambangan yang menilai kebijakan tersebut bisa menjadi disinsentif di tengah upaya menarik investasi baru.
Kenaikan tarif royalti ini merupakan bagian dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menuturkan, kebijakan ini menggunakan skema tarif berjenjang yang mengikuti pergerakan harga komoditas.
“Kalau harganya nikel atau emas naik, ada range tertentu. Tapi kalau tidak naik, ya tidak naik. Kita mau win-win, kita pengin pengusaha baik, negara juga baik,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4).
Baca Juga: ESDM Ungkap Detail Kenaikan Tarif Royalti Minerba, Lebih dari 3%
Meski sebagian pelaku industri meminta penundaan, pemerintah tetap melanjutkan kebijakan tersebut.
“Kita menghargai semua masukan, tapi kan kita melihat pada suatu kepentingan lebih besar terhadap bangsa kita,” tegas Bahlil.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno menambahkan, aturan ini akan langsung dieksekusi pada minggu kedua April. Namun, pelaku usaha mempertanyakan waktu penerapan kebijakan ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai, kebijakan kenaikan royalti justru kontraproduktif di tengah tekanan biaya operasional dan ketidakpastian global akibat perang tarif.
“Biaya operasional naik terus. Sejak Januari sudah banyak kebijakan yang membebani, mulai dari PPN naik, DHE, sampai HDA. Kalau sekarang ditambah kenaikan royalti, itu makin berat,” kata Hendra kepada Kontan, Kamis (10/4).
Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menjadi disinsentif bagi investor, terutama saat Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investasi pada sektor mineral kritikal yang tengah menjadi incaran global.
Baca Juga: Tarif Royalti Minerba Bakal Naik, Begini Strategi Aspebindo
“Ini malah jadi moral disinsentive. Saat negara-negara lain berlomba membuka peluang investasi, kita justru membebani pelaku usaha. Royalti kita sekarang saja sudah termasuk tinggi dibanding negara pesaing,” ujarnya.
Hendra juga mengingatkan beban pelaku usaha tak hanya berasal dari royalti, tetapi juga dari berbagai pungutan lain seperti PNBP dari sektor kehutanan dan transportasi, hingga pajak daerah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan kebijakan ini. Menurutnya, secara hukum penundaan masih sangat dimungkinkan.
“Menunda akan jauh lebih baik karena memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk bertahan di tengah situasi sulit dan lambatnya ekonomi global,” kata Bisman kepada Kontan, Kamis (10/4).
Namun jika kebijakan tetap dijalankan, Bisman memperkirakan pelaku usaha akan melakukan penyesuaian operasional, efisiensi, hingga kemungkinan penundaan investasi. Ia pun mengingatkan agar jangan sampai beban yang meningkat ini berujung pada penghentian operasi atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca Juga: Siap-siap! Tarif Kenaikan Royalti Minerba Berlaku Mulai Bulan Ini
Selanjutnya: Menteri PKP Minta Ganti Rugi Konsumen Meikarta Kelar Empat Bulan
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (11/4): Berawan dan Hujan Ringan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News