Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya mendorong produksi gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 dihadapkan pada masih terbatasnya ketersediaan infrastruktur migas.
Kebutuhan akan infrastruktur ini juga merupakan strategi dalam menciptakan pasar gas bumi. Dengan demikian, pasokan gas yang ada dapat terserap secara maksimal untuk kepentingan nasional.
Menurut Chief Executive Officer PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Budiman Parhusip, peran pasar atau market sangat penting dalam perencanaan eksplorasi untuk menghasilkan gas. Dengan begitu, perusahaan mempunyai gambaran bagaimana nantinya gas yang sudah diproduksi dapat terserap.
“Pasar itu memainkan peran yang sangat penting untuk melakukan pengembangan dan itu indikasi penting untuk perencanaan eksplorasi. Kalau market abu-abu, itu bisa mengganggu eksplorasi,” ujar Budiman dalam Gelaran IPA Convex 2021, Kamis (2/9).
Budiman mengungkapkan, Pertamina berkomitmen mendukung program pemerintah untuk meningkatkan produksi gas bumi. Di antaranya dari pengembangan Wilayah Kerja Sanga-sanga, Mahakam, atau Donggi Senoro.
Baca Juga: Medco Energi Internasional (MEDC) gencar investasi di sektor energi terbarukan
Pertamina juga memiliki lapangan-lapangan gas terbengkalai yang perlu dipikirkan cara untuk memonetisasinya.
Oleh karena itu, penting kiranya menciptakan permintaan dari lapangan gas yang cukup dekat dengan pasar. Caranya dengan menciptakan infrastruktur yang terintegrasi dengan permintaan.
Menurutnya, hal ini juga berlaku ketika ingin mengembangkan kawasan Indonesia Timur yang notabene banyak memiliki potensi migas.
“Pada saat bersamaan mengoptimalkan rencana pembangunan dan menciptakan permintaan domestik di sektor industri dan listrik dengan infrastruktur. Ini menjadi hal utama untuk mencapai 12 BSCFD dan meningkatkan pemanfaatan gas domestik,” tuturnya.
Adapun untuk mendukung peningkatan produksi dari sisi hulu, industri migas berharap mendapatkan insentif dari pemerintah.
Mengingat, pengembangan lapangan yang mature membutuhkan biaya tinggi dan strategi yang bagus untuk dapat beroperasi.
“Untuk terus mengembangkan lapangan kita memerlukan insentif dari pemerintah. Terima kasih kepada Kementerian ESDM yang sudah memberikan insentif untuk Wilayah Kerja Mahakam,” katanya.
Baca Juga: Infrastruktur jadi tantangan pemanfaatan gas di sektor kelistrikan
Sementara dari sisi sektor kelistrikan, PLN terus berupaya meningkatkan pemanfaatan gas pada pembangkit listrik. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, permintaan gas diproyeksikan meningkat dari 364 Triliun British Thermal Unit (TBTU) pada 2021 menjadi 547 TBTU pada 2030.
Meski demikian, Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) E. Haryadi mengungkapkan, ada sejumlah tantangan dan hambatan untuk mengimplementasikannya.
Antara lain permintaan gas rata-rata berada dalam sistem pembangkit yang terisolasi dan kapasitas terpasangnya tidak begitu besar. Keberadaannya juga tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Selain itu, pengembangan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) juga harus bersaing dengan sumber energi lain yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
“Ini berkaitan dengan harga. Kita harus bisa mengkalkulasikan mana yang lebih murah antara PLTG dengan EBT. Itu tantangan penyediaan gas, bagaimana membuat solusi bagi kami untuk yang lebih murah,” katanya.
Haryadi mengungkapkan, pada RUPTL 2021-2030 sendiri ada penurunan permintaan. Hal tersebut berdasarkan perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi.
Ia mengungkapkan, pada 2010 pertumbuhan ekonomi berkisar 6-7 persen sedangkan sejak 2015 melandai di kisaran 5 persen. “Elastisitas energi listrik menurun sampai 0,5 persen. Ini berarti ada penurunaan untuk listrik dan power system,” katanya.
Baca Juga: Pemerintah siap guyur insentif untuk menarik minat investasi hulu migas
Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengatakan, sektor industri memiliki permintaan gas yang besar, hanya saja yang menjadi persoalan ialah infrastruktur yang belum sepenuhnya tersambung.
Selain itu, belum semua pelaku industri dalam tujuh sektor industri yang mendapatkan harga gas US$ 6 per MMBTU mendapatkan harga gas yang sama. Alhasil kebutuhan gas industri tidak sepenuhnya bisa tercukupi.
“Kalau bicara menggunakan 3 ribu MMSCFD pada dasarnya secara praktik menggunakan lebih dari itu, kita mengatakan 6-7 ribu MMSCFD,” katanya.
Oleh karenanya, Achmad berharap infrastruktur gas dapat terus dikembangkan dan menjangkau lebih banyak pelaku industri. Di wilayah Jawa Barat dari Bekasi sampai Subang misalnya, memang ada arus utama jalur pipa untuk industri.
Namun, jalur tersebut tidak mempunyai sub pipa untuk menjangkau pelaku industri yang tidak berada di jalur utama.
“Kita butuh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur dan sub jalur pipa. Kita membutuhkan keamanan energi untuk memastikan wilayah yang ada industri memiliki jalur pipa,” tuturnya.
Lebih lanjut, Achmad juga berharap, pihaknya berharap dapat dilibatkan dalam pembahasan penyusunan perencanaan penyediaan gas di masa depan. Hal ini dapat memberikan gambaran yang utuh kepada industry terkait pengembangan gas nasional.
Baca Juga: Pemerintah optimistis capai target produksi migas di 2030
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha, target produksi gas 12 BSCFD memang lebih tinggi dari apa yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017.
Meski demikian, dari sisi otoritas sudah menunjukkan komitmen melalui pemberian insentif untuk bisa menciptakan pasokan gas. Namun, dari sisi permintaan perlu dikalkulasikan juga.
“Kami mengkalkulasikan semua dan mendengar yang dikatakan industry, swasta dan industri migas untuk bisa mengcapture permintaan. Tidak hanya menangkap tapi menciptakan permintaan,” tuturnya.
Satya mengungkapkan, perencanaan RUEN 2017 sendiri berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 7-8 persen. Namun pada perjalanannya, Indonesia terkena dampak pandemi Covid-19 yang berefek terhadap perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi hingga 2045 pun diproyeksikan rata-rata sekitar 5 persen. Ini membuka diskusi untuk merevisi RUEN agar lebih membumi dari sisi pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: SKK Migas: Insentif hulu migas dorong penambahan penerimaan negara Rp 41 triliun
Direktur Program Pengembangan Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dwi Anggoro Ismukurnianto mengatakan, pemerintah berupaya mengoptimalkan gas bumi untuk kebutuhan domestik.
Sejumlah upaya dilakukan untuk bisa menciptakan permintaan gas. Seperti penetapan harga gas US$ 6 per MMBTU maupun pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas nasional.
Kementerian ESDM saat ini juga bekerja sama dengan FIPGB dan Kementerian Perindustrian. Selain itu, menurut Dwi, PLN juga sudah berkomitmen untuk mengembangkan pembangkit berbasis gas di wilayah Indonesia Timur. Dengan begitu industry di wilayah tersebut dapat berkembang.
“Kebijakan pemanfaatan gas bumi domestik merupakan kebijakan yang tepat. Upaya pemerintah, khususnya di Indonesia Timur harus mendapatkan dukungan dari semua stakeholder,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News