Reporter: Dimas Andi, Pratama Guitarra, Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Cipta Wahyana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia terus memacu pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Tahun 2025 mendatang, pemerintah membidik porsi EBT menyumbang 23% total sumber energi primer Indonesia. Namun, saat ini, porsi bauran energi terbarukan masih berada di bawah 10%. Nah, salah satu potensi yang terus digali dan menjadi tulang punggung pengembangan EBT adalah energi yang berbasis panas bumi. BUMN energi, yakni PT Pertamina (Persero), hingga kini masih menjadi motor penggerak pengembangan energi panas bumi.
Pertamina terus menggenjot pemanfaatan panas bumi demi mendorong transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Dalam lima tahun ke depan, Pertamina bakal menggandakan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP). Senior Vice President (SVP) Strategy & Investment PT Pertamina, Daniel S Purba mengatakan, saat ini Pertamina mengoperasikan sekitar 672 Megawatt (MW) kapasitas terpasang PLTP. Dalam lima tahun ke depan, kapasitas itu bakal meningkat menjadi 1.300-an MW atau 1,3 Gigawatt (GW). "Dari sisi cadangan memang kita punya potensi yang cukup besar," ujar Daniel dalam forum webinar, Rabu (21/10).
Dalam mengembangkan panas bumi, Pertamina didukung anak usahanya, yakni Pertamina Geothermal Energy (PGE). Corporate Secretary PGE Mindaryoko menerangkan, saat ini PGE mengelola 14 Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) dengan total kapasitas terpasang 672 MW. Semua wilayah tersebut dioperasikan sendiri (own operation) oleh PGE.
Baca Juga: Kilang Pertamina di Plaju produksi bahan pelengkap produk kesehatan dan kecantikan
Sebesar 672 MW itu tersebar di PLTP Kamojang di Jawa Barat sebesar 235 MW, Lahendong di Sulawesi Utara (120 MW), Ulubelu di Lampung (220 MW), Sibayak di Sumatra Utara (12 MW), Karaha di Jawa Barat (30 MW) dan Lumut Balai di Sumatra Selatan (55 MW).
Selain kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri, PGE mempunyai 1.205 MW yang dijalankan secara joint operation contract (JOC). Perinciannya, tiga JOC bersama Star Energy di Lapangan Wayang Windu, Darajat dan Gunung Salak, serta satu JOC yang dilaksanakan Sarulla Operation di Lapangan Sarulla Sumatra Utara.
"Potensi panas bumi di Indonesia masih besar, sehingga PGE terus berkomitmen mengembangkan panas bumi sebagai salah satu energi baru terbarukan," kata Mindaryoko saat dihubungi KONTAN, Rabu (21/10).
Saat ini, PGE menjalankan tiga proyek pengembangan listrik panas bumi. Pertama, PLTP Lumut Balai unit 2 di Sumatra Selatan dengan rencana kapasitas terpasang 55 MW. Kedua, PLTP Hululais unit 1&2 di Bengkulu dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 2 x 55 MW.
Ketiga, PLTP Sungai Penuh unit 1 di Kerinci-Jambi, dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. "Selain pengembangan panas bumi, saat ini PGE juga sedang melakukan eksplorasi untuk Wilayah Kerja Seulawah Agam di Aceh dan Gunung Lawu di Jawa Tengah," ujar dia.
Tantangan panas bumi
Nilai investasi yang akan dikucurkan PGE untuk pengembangan panas bumi hingga tahun 2026 mencapai US$ 2,68 miliar atau sekitar Rp 39,12 triliun (kurs US$ 1= Rp 14.600). "Untuk meningkatkan daya saing jangka panjang sampai tahun 2026, PGE akan fokus pada strategi meningkatkan kapasitas PLTP sesuai target dan pengembangan direct use yang memiliki nilai komersial," kata Mindaryoko.
Meski dalam kondisi pandemi Covid-19, PGE tetap melaksanakan proses tender untuk memilih pelaksana EPCC total project untuk membangun PLTP Lumut Balai 2.
Sementara Daniel mengungkapkan, dari sisi teknis dan teknologi pengeboran panas bumi, Pertamina sudah bisa mengatasinya. Kendati begitu, masih ada sejumlah tantangan dalam pengembangan panas bumi.
Daniel menyoroti kebutuhan belanja modal alias capital expenditure (capex) yang masih sangat besar. Sebab, infrastruktur dasar belum disiapkan sehingga pengembang harus mengucurkan investasi terlebih dulu.
Padahal, medan pengeboran panas bumi sangat sulit sehingga pembangunan infrastruktur dasar memerlukan dana besar. "Jadi bayangkan, kami harus mengebor di kawasan pegunungan maupun di dasar lembah. Jalan ke sana saja belum ada. Kami harus memobilisasi peralatan pemboran, peralatan pembangkit listrik. Untuk itu kami harus siapkan jalan dengan kualitas yang mampu menampung beban berat," terang Daniel.
Dia berharap, pemerintah bisa memberikan insentif dalam penyediaan infrastruktur dasar pengembangan panas bumi. Selain itu, paket kebijakan yang sedang disiapkan pemerintah diharapkan bisa membuat return investasi menjadi semakin menarik.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi menilai, belum tersedianya infrastruktur dasar yang menyedot capex cukup besar bakal berdampak terhadap keekonomian proyek. "Itu dibebankan kepada investor, sehingga biayanya cukup mahal," kata Fahmy.
Oleh karena itu, dia menilai perlu ada insentif dari pemerintah, agar biaya pengembangan yang mahal bisa terpangkas. "Salah satu solusinya pemerintah pusat maupun daerah memberikan fasilitas, termasuk membangun infrastruktur," ujar dia.
Selanjutnya: Pertamina kembangkan PLTBg di KEK Sei Mangkei
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News