Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI menyoroti ekspor solar jenis High Speed Diesel (HSD) yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Seperti diketahui, pada 5 September 2020 lalu, Pertamina telah melakukan pengapalan dan penyaluran perdana produk HSD 50 PPM Sulphur dari Pertamina Refinery Unit V Balikpapan ke Malaysia,
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno meminta klarifikasi mengenai ekspor tersebut. Termasuk terkait dengan isu perbedaan harga, yang mana harga HSD di dalam negeri disebut-sebut lebih mahal ketimbang harga yang dijual ke luar negeri.
"Perlu diklarifikasi, mengenai isu yang berkembang di publik. Mengenai adanya perbedaan harga HSD di dalam negeri yang lebih mahal harganya ketimbang ekspor. Jika demikian adanya, hal ini tentunya mengecewakan masyarakat Indonesia," ungkap Eddy sebagai pimpinan rapat dalam RDP yang digelar Senin (5/10).
Baca Juga: Fitch pertahankan peringkat investment grade, ini kata Pertamina
CEO Subholding refinery and petrochemical Pertamina Ignatius Tallulembang menjawab bahwa ekspor HSD tersebut tak lepas dari kondisi pandemi covid-19 yang terdampak terhadap operasional kilang dan juga permintaan (demand) HSD di dalam negeri.
Tallulembang membeberkan, selama masa pandemi covid-19, kilang Pertamina dioperasikan pada kapasitas minimum (turn down ratio) pada 75%. Namun, meski kapasitas operasi sudah minimum, daya serap (demand) dalam negeri masih rendah. Pada saat yang sama, daya tampung (storage) pun sudah hampir penuh.
"Walau pun sudah pada kondisi minimum, tetap saja ada beberapa produk yang tidak bisa diserap di dalam negeri karena memang demand turun jauh, seperti avtur, gasoil. Ini lah produk-produk yang kita cari peluang untuk ekspor," terang Tallulembang.
Menurutnya, saat demand anjlok dan storage sudah hampir penuh, operasional kilang tetap tidak boleh berhenti. Sebab, berhentinya kilang justru mendatangkan kerugian yang lebih besar. "Kalau kita stop, artinya bukan solar saja yang tidak bisa dihasilkan. Tapi produk lain yang kita butuhkan seperti gasoline, LPG dan sebagainya juga," sambung Tallulembang.
Baca Juga: Ratu Prabu (ARTI) bisa kantongi laba meski pendapatannya anjlok di semester I
Oleh sebab itu, dia mengklaim bahwa ekspor HSD yang dilakukan Pertamina sudah mempertimbangkan mitigasi risiko dari operasional kilang serta kondisi demand pada masa pandemi covid-19 ini. Tallulembang juga mengklaim, harga ekspor pada produk HSD tersebut telah merujuk pada harga pasar yang berlaku saat itu.
"Harga jualnya menyesuaikan harga pasar saat itu, ada term-nya. Ini adalah foB, artinya beli berdasarkan harga Balikpapan, sesuai harga pasar," ujarnya.
Dalam paparannya disebutkan, harga ekspor yang diterima market memang relatif lebih rendah dibandingkan harga domestik. Alasannya, pertama, kargo ekspor tersebut masuk kategori yang perlu segera dijual atau dalam kondisi mendesak.
Kedua, penjualan kargo mendesak ini dilakukan sangat terbatas. Yakni dijual 1 cargo dengan volume 30.000 Kiloliter (KL) demi menghindari terhentinya operasi kilang.
Dalam catatan Pertamina, kapasitas produksi solar minimum telah melewati kapasitas storage nasional. Padahal, demand solar anjlok pada masa pandemi covid-19 menjadi rata-rata 10,6 juta barel - 12,9 juta barel, dalam kumulatif mulai bulan April 2020. Dibandingkan demand normal yang sebesar 13,5 juta barel.
Baca Juga: Ini 5 keuntungan konversi BBM ke BBG bagi nelayan
"Apabila kilang RU V melewati kondisi kapasitas produksi minimum, dapat menyebabkan kilang harus dimatikan dengan potensi kerugian yang sangat besar," ujar Tallulembang.
Sebagai informasi, pada Sabtu (5/9) telah dilakukan pengapalan dan penyaluran perdana produk High Speed Diesel (HSD) 50 PPM Sulphur dari Pertamina Refinery Unit V Balikpapan ke Malaysia sejumlah 200,000 Barrels atau setara dengan 31,800 KL melalui kapal MT. Ridgebury Katherine Z.
Kapal yang mengangkut produk HSD 0.005-%S akan menempuh waktu 4-5 hari hingga sampai ke Malaysia dengan nilai ekspor US$ 9.5 Juta.
Selanjutnya: Mulai ada tren, asing hanya ingin biayai korporasi yang ramah lingkungan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News