Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pencopotan Direktur Pertamina Power Ginanjar rupanya bukan tanpa sebab. Pertamina Power bersiteru dengan Marubeni dan semua masalah tersebut sudah dilaporkan ke Pertamina Pusat sebagai bukti terkait retaknya kongsi Pertamina Power-Marubeni-Sojitz karena adanya dugaan kecurangan.
Kontan.co.id mendapatkan surat yang dikirim Direktur Utama Pertamina Power Ginanjar tertanggal 13 September 2019 itu ditujukan kepada Chief Audit Executive Pertamina terkait tambahan data dan informasi terkait permohonan pelaksanaan investigas proyek PLTGU Jawa 1. Surat itu bernomor No. 116/PPI10000/2019-S0.
Baca Juga: Ada apa dengan konsorsium PLTGU Jawa 1? Ginanjar dicopot dari Dirut Pertamina Power
Tercatat ada enam surat yang sudah diajukan sebelum surat terakhir ini dikirim ke Chief Executive Audit Pertamina. Isi surat terakhir ini adalah, menindaklanjuti surat PPI pada butir 1 dan rapat PPI dengan Fungsi Internal Audit Pertamina pada butir 2 di atas, maka sebagai kelengkapan data dan informasi.
Bersama ini PPI menyampaikan beberapa korespondensi antara kami dengan Sponsor proyek IPP Jawa-1 (Sponsor), yaitu Marubeni Corporation (Marubeni) dan Sojitz Corporation (Sojitz) sebagaimana butir 3 sampai 5 di atas.
Ketiga surat tersebut perlu dijadikan telaah karena menggambarkan dinamika yang terjadi diantara konsorsium, termasuk inkonsistensi dari Sponsor dalam berbagai hal, yang terjadi pula saat Program Apresiasi diintroduksi dan diusulkan oleh PT Jawa Satu Power (JSP).
Serta untuk menghindari terjadinya pergeseran isu sebagaimana yang PPI tengarai akhir-akhir ini dimana terkesan bahwa Management PPI tidak dapat melakukan komunikasi dengan baik dengan mitra bisnis-nya.
Baca Juga: Gawat! 19 Proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) Mangkrak Karena Tidak Dilirik Investor
Surat-surat tersebut harus PPI keluarkan karena upaya-upaya kecurangan yang dilakukan oleh Marubeni terus-menerus berulang, walaupun sudah PPI peringatkan baik dalam tataran meeting resmi BOD JSP maupun tataran unofficial meetings di Sponsor.
Beberapa contoh kasus yang menimbulkan friksi yang cukup tajam di Konsorsium di antaranya:
1. Entering Fee:
Bergabungnya Sojitz ke dalam Konsorsium. Entering fee adalah biaya yang dibayarkan oleh anggota baru pada suatu konsorsium yang sudah terbentuk sebelumnya, dengan besaran fee sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Dalam konteks Proyek IPP Jawa-1, berikut yang terjadi:
A. Juni 2016: Saat Sojitz bergabung ke Konsorsium (Pertamina dan Marubeni), sebagai lead Konsorsium, PPI tidak menuntut entering fee ke Sojitz, karena yang paling penting bagi PPI adalah ‘menyelamatkan’ proyek agar tetap dapat mengikuti tender PLN, sehingga tidak pernah ada pembicaraan diantara 3 Sponsor (PPI, Marubeni, Sojitz) mengenai entering fee.
B. September 2018: Sojitz menyampaikan kepada PPI bahwa Marubeni meminta “kompensasi” atas bergabungnya Sojitz ke dalam konsorsium dan Sojitz akhirnya menyepakati pembayaran kepada Marubeni. Sojitz mengira bahwa permintaan Marubeni tersebut atas sepengetahuan dan persetujuan PPI, padahal kenyataannya PPI tidak pernah diinformasikan & diminta persetujuan.
C. Januari 2019: Sumber pendanaan entering fee sebesar USD 1.5 Juta yang akan dibayarkan oleh Sojitz kepada Marubeni dialokasikan dari Sponsors Development Fee porsi Sojitz, dimana untuk eksekusinya diperlukan persetujuan PPI. Oleh sebab itu, Marubeni terpaksa harus men-disclose kepada PPI perihal kesepakatan entering fee dengan Sojitz.
D. Maret 2019: Atas dasar kekecewaan yang disampaikan PPI kepada Marubeni karena adanya kesepakatan ‘di bawah tangan’ yang tidak diketahui oleh PPI, Marubeni mengakui kesalahannya dan setelah beberapa kali diskusi, Marubeni dan PPI bersepakat untuk membagi entering fee 50:50 sesuai dengan proporsi saham. Namun kesepakatan ini tidak serta merta menutup fakta bahwa Marubeni telah berbuat kecurangan dan tidak transparan. Sebagai pembanding, di proyek lain yang dibangun oleh PPI (lead consortium) dan ENGIE, pada saat Sumitomo ingin bergabung ke dalam konsorsium dan menyanggupi untuk membayar entering fee, maka PPI segera menyampaikan kepada ENGIE untuk dibahas bersama-sama secara transparan dan pada akhirnya diputuskan melalui kesepakatan tiga pihak.
2. Pembelian Lahan Tambahan untuk Right of Way (ROW) Tahun 2018
PPI selalu menyampaikan kepada konsorsium bahwa keekonomian proyek Jawa-1 berada di “zona kuning”, sehingga setiap potensi penghematan pada Proyek harus dioptimalkan untuk menjaga, bahkan menaikkan EIRR proyek untuk kembali ke “zona hijau” (hurdle rate).
Namun, Konsorsium hampir kehilangan opportunity penghematan US$ 12 Juta dalam beberapa kali proses negosiasi dengan kontraktor pembebasan lahan akibat dorongan kuat Marubeni untuk serta merta menyetujui penawaran harga lahan awal dari kontraktor dengan alasan tata waktu yang ketat, padahal harga yang ditawarkan 3x lipat lebih tinggi dari harga lahan yang dibeli Konsorsium dari Pertagas di lokasi yang sama. Pada kenyataannya, PPI berhasil memperoleh harga lahan hanya 1/6 dari penawaran awal kontraktor atau 1/3 dari harga lahan Pertagas.
3. Isu Pelanggaran Local Content / Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Tahun 2019
Deputi COO JSP (representasi Marubeni) secara diam-diam melakukan pendekatan intensif ke EPC kontraktor untuk menggunakan produk pipa impor dari Marubeni Itochu Steel Inc.
Upaya tersebut dapat melanggar Peraturan Menteri Perindustrian tentang TKDN, dimana hal ini juga diatur dalam Power Purchase Agreement (PPA) antara konsorsium dengan PT PLN (Persero).
Hal ini sangat berbahaya bagi reputasi PPI dan Pertamina, karena disamping sebagai BUMN, Pertamina melalui PPI merupakan consortium leader, serta proyek IPP Jawa-1 berdiri di Indonesia, dimana Pertamina harus menunjukkan leadership dan komitmen yang kuat dalam mengutamakan kepentingan nasional sesuai dengan peraturan yang berlaku yang seharusnya juga dihormati oleh semua pihak.
4. Negosiasi dengan MOL sebagai Pengganti Exmar dalam Konsorsium FSRU
Tahun 2018 Sojitz dan Marubeni menginisiasi penggantian partner FSRU dari Exmar menjadi Mitsui O.S.K. Lines (“MOL”) karena adanya indikasi bahwa Exmar dalam kondisi keuangan yang tidak stabil dan dapat menimbulkan “bankability concern” bagi lender.
PPI terbuka dengan inisiatif pergantian partner sepanjang didapatkan yang terbaik untuk Proyek dan dilakukan dengan prudent. Terdapat dua kondisi yang harus di-manage terkait hal ini, yaitu:
i. Exmar menuntut kompensasi sebesar US$ 30 Juta, namun dengan negosiasi yang dilakukan oleh PPI, akhirnya dicapai kesepakatan sebesar USD 4 Juta, (terdapat saving USD 1 Juta dari angka yang disepakati di internal Konsorsium yaitu USD 5 Juta); ii. MOL bukan 1st rank winner pada pemilihan partner FSRU tahun 2017.
Baca Juga: 19 proyek EBT kesulitan pendanaan, ESDM: Kami terus dorong
Dengan penawaran management fee yang lebih tinggi dibanding Exmar, dan pengalaman teknis MOL untuk operasi FSRU belum menyaingi pengalaman Exmar, maka PPI menilai perlu dilakukan negosiasi atas commercial package MOL.
Proses negosiasi dengan MOL sangat alot dan memakan waktu karena PPI tidak mendapatkan full support dari Sojitz dan Marubeni. Pada akhirnya PPI berhasil memperoleh cost reduction 37.5% dari proposal terakhir MOL (setara USD 16,4 Juta) serta membuat MOL setuju membayar sebagian kompensasi ke Exmar sebesar US$ 1 Juta.
Marubeni (dan didukung Sojitz) selalu berargumen bahwa dorongan ke Konsorsium untuk langsung ‘menyerah’ dan menerima proposal awal dari third party karena adanya concern tata waktu. Di lain pihak, PPI mempunyai komitmen bahwa concern Proyek bukan hanya pada tata waktu, namun juga aspek efisiensi, dan kualitas (yang menjadi filosofi dan parameter keberhasilan proyek terutama pada tahap 2: construction, agar Proyek on-budget, on time, dan on-quality).
Terbukti bahwa PPI selalu berhasil mengelola 3 aspek tersebut dengan baik, dengan diperolehnya penghematan sebesar USD 62 Juta sehingga terjadi pengingkatan EIRR, namun progress Proyek tetap dapat dicapai dengan baik, yaitu 29.5% vs 28.9% (actual vs plan), ahead 0.6% (ref. laporan Agustus 2019).
PPI juga tetap berkomitmen kepada manajemen Pertamina untuk tetap mengupayakan peningkatan EIRR agar kembali ke “zona hijau”.
Baca Juga: Ini langkah PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) mendorong proyek energi terbarukan
Saat ini masih terdapat potensi penghematan sebesar US$ 48.2 Juta dalam bentuk contingency budget (dianggarkan dalam financial model) dimana jika tidak terjadi change order dan cost overrun, maka dapat meningkatkan EIRR secara signifikan.
Dari historikal dan kronologis tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kompleksitas dan kekisruhan yang terjadi dalam Program Apresiasi ini lebih disebabkan oleh mentalitas para partners tersebut yang tidak mampu memahami dan menghargai partner lainnya, yang tercermin dari:
1. Inkonsistensi. PPI pada akhirnya setuju dengan konsep yang diusulkan Marubeni, namun justru mereka melakukan complaint kepada Pertamina Korporat (atas usulan Program Apresiasi). Marubeni tidak memahami, bahwa bahkan sebelum memasuki tahap 1 (mekanisme pengambilan keputusan sesuai Lampiran 1), PPI sudah melakukan sounding ke korporat untuk tahap 5, 6, dan 7.
2. Superiority atas partner lainnya. Marubeni meremehkan kapabilitas dan komitmen PPI dalam compliance serta dalam menjalankan sistem dan mekanisme pengambilan keputusan untuk isu-isu reserved matters dimana Pertamina merupakan Ultimate Shareholder PPI (Lampiran 1).
Baca Juga: Produksi migas Pertamina EP (PEP) kuartal III-2019 naik 106%
3. Underestimate profesionalitas PPI. Permintaan Marubeni melakukan pertemuan 4 mata dengan Direktur Utama PPI yang diikuti dengan pengajuan usulan besaran program apresiasi di bawah tangan yang hanya diperuntukkan bagi Direksi PPI (tidak termasuk pekerja PPI dan Komisaris), dapat dinilai sebagai upaya bribery. Pada pertemuan 4 mata tersebut, disampaikan oleh Direktur Utama PPI berulang kali agar hal ini dibahas pada RUPS sesuai dengan UUPT 40/2007.
Korespondensi dan proses audit investigasi ini diharapkan dapat menempatkan persoalan dengan baik, serta menjadi rujukan bagi PPI dan para stakeholder-nya dalam melakukan partnership, baik pada proyek-proyek yang sedang ditangani ataupun ke depannya.
PPI harus dapat menjamin dirinya sendiri bahwa business partners-nya adalah trustworthy companies dan mempunyai pandangan dan filosofi bisnis yang sama sehingga tidak terjebak dengan kompleksitas masalah ethic, transparency, dan honesty yang akhirnya mengarah pada praktek-praktek kecurangan.
Surat ini ditembuskan kepada Direktur Manajemen Risiko dan Investasi PT Pertamina dan Komisaris Pertamina Power Indonesia. Ginanjar Direktur Utama Pertamina Power Indonesia masih irit bicara soal surat yang tersebar di media itu. "Semua tercatat, itu saja yang bisa saya katakan," kata dia singkat ke Kontan.co.id Minggu (3/11).
Sementara, Fahmy Radhi Pengamat Ekonomi Energi UGM mengatakan, Pembangkit Jawa-1 merupakan bagian yang penting dalam proyek 35.000 MW. Kisruh internal, pencopotan Ginanjar, berpotensi menghambat realisasi proyek 35.000 MW.
Baca Juga: Dari Karaha, Perusahaan Milik Siswono Digugat Pailit Perusahaan Asal Selandia Baru
"Menteri ESDM dan BUMN harus turun tangan menyelesaukan kisruh internal tersebut. Kalau perlu membatalkan pemecatan Ginanjar, yang sudah terbukti berhasil dalam pembangunan pembangkit," dia kepada Kontan.co.id, Minggu (3/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News